Tuesday, April 19, 2016

Tentang Tari Seudati Masa Kini



KATA seudati berasal dari bahasa Arab syahadati atau syahadatain, yang berarti kesaksian atau pengakuan. Dalam bahasa Aceh dialeknya berubah menjadi seudati. Seudati mulai dikembangkan sejak agama Islam masuk ke Aceh. Tarian ini sebagai media untuk mengembangkan Islam. Tarian ini cukup berkembang di Aceh Utara, Bireuen, Pidie, dan Aceh Timur. Dibawakan dengan mengisahkan pelbagai macam masalah yang terjadi agar masyarakat tahu bagaimana memecahkan suatu persoalan secara bersama.

Mulanya seudati diketahui sebagai tarian pesisir yang disebut ratoh atau ratoih, yang artinya menceritakan, diperagakan untuk mengawali permainan peulet manouk (menyabung ayam), atau diperagakan untuk bersuka ria ketika berhasil memenangkan sebuah perang atau pertempuran. Permainan seudati juga biasa dimainkan oleh prajurit perang Aceh disela-sela atau waktu senggang sambil beristirahat di barak.

Dalam ratoh, dapat diceritakan berbagai hal, dari kisah sedih, gembira, nasihat, sampai pada kisah-kisah heroik. Ulama yang mengembangkan agama Islam di Aceh umumnya berasal dari negeri Arab. Karena itu, istilah-istilah yang dipakai dalam seudati umumnya berasal dari bahasa Arab. Di antaranya istilah syeikh yang berarti pemimpin, saman yang berarti delapan, dan syair yang berarti nyanyian. Seudati kini sudah berkembang ke seluruh daerah Aceh dan digemari oleh masyarakat. Selain dimanfaatkan sebagai media dakwah, seudati juga menjadi pertunjukan hiburan untuk rakyat.

Permainan Seudati

Seudati ditarikan oleh delapan orang laki-laki sebagai penari utama, terdiri atas satu orang pemimpin yang disebut syeikh, satu orang apeet syeh (pembantu syeikh), dua orang apeet (pembantu) di sebelah kiri yang disebut apeet wie, satu orang pembantu di belakang yang disebut apeet bak, dan tiga orang pembantu biasa. Selain itu, ada pula dua orang vokalis sebagai pengiring tari yang disebut aneuk syahi. 

Jenis tarian ini tidak menggunakan alat musik, tetapi hanya membawakan beberapa gerakan, seperti tepukan tangan ke dada dan pinggul, hentakan kaki ke tanah dan petikan jari. Gerakan tersebut mengikuti irama dan tempo lagu yang dinyanyikan. Busana yang digunakan terdiri atas celana panjang dan kaos oblong lengan panjang yang ketat, keduanya berwarna putih; kain songket yang dililitkan sebatas paha dan pinggang; rencong yang disisipkan di pinggang; tangkulok (ikat kepala) yang berwarna merah. Busana seragam ini hanya untuk pemain utamanya, sementara aneuk syahi tidak harus berbusana seragam.

Sesi-sesi dalam pertunjukan seudati terdiri atas saleum aneuk syahi. Pada sesi ini aneuk syahi mengawali dengan salam serta penghormatan kepada pembesar-pembesar, panitia, dan syeikh dari pihak lawan. Saleum syeikh biasanya hanya penghormatan singkat serta perkenalan. Sesi selanjutnya adalah likok (gaya; tarian), sesi ini tanpa suara vokal, hanya terdengar keutip jaroe, tepukan dada dan tepukan tangan. Sesi ini juga bagian dari improve atau singkup untuk memasuki sesi saman. Biasanya dalam saman dibawakan lagu sillahi lahe. Selain mempersembahkan tarian atau likok dalam permainan seudati juga ada bagian kisah (story) Pansi, lani, dan gambus sebagi penutup

Babak pertama, diawali dengan saleum (salam) perkenalan yang diucapkan oleh aneuk syahi saja, yaitu: Assalamualaikom bang payong le gom lon. ha la lon ha la lon lon tamong..g..g.gg..lon tamoeng lam seung bintang buluen le lon jak.halajak..halajak..jak mubriee..jak mubri saleum nek buleun le lom keu.halakeu..halakeu.keu..keu jameeeee..keu jamee teuka syedara le lem lom ja..la ja deeh malam nyoe sambinoe lon bi keugata.

Fungsi aneuk syahi untuk mengiringi serta mengimbangi dengan tempo setiap gerak dalam rangkaian tari. Selanjutnya syeikh menyapa dengan salam juga yang berbeda.

Salam..salam alaikom lon ta.haaa monggg.lam seunggg..jak mubri sahaleum keu Syair di atas diulangi oleh kedua apeet wie dan apeet bak. Dalam sesi salam dan perkenalan ini, delapan penari hanya melenggokkan tubuhnya dalam gerakan gemulai, peeh dada (tepuk dada) serta keutip (jentikan jari) yang mengikuti gerak irama lagu secara serentak. Gerakan rancak baru terlihat ketika memasuki babak selanjutnya. Bila seudati tunang, maka setelah kelompok pertama ini menyelesaikan babak pertama, akan dilanjutkan oleh kelompok kedua dengan teknik yang berbeda pula.

Setelah sesi salam dan sapa selesai kelompok pertama akan turun dari pentas. Babak kedua, dimulai dengan bak saman, seluruh penari utama berdiri dengan membuat gloung (lingkaran di tengah-tengah pentas) sambil bermufakat likok apa saja yang akan dimainkan. Bentuk lingkaran ini menyimbolkan bahwa masyarakat Aceh selalu mupakat (bermusyawarah) dalam mengambil segala keputusan. Dalam sesi likok dipertunjukkan keseragaman gerak, kelincahan bermain dan ketangkasan yang sesuai dengan lantunan lagu yang dinyanyikan aneuk syahi. 

Seluruh penari utama akan mengikuti irama lagu yang dinyanyikan dengan beat cepat atau lambat tergantung dari tempo lantunan yang dibawakan oleh aneuk syahi. Sesi selanjutnya adalah saman. Dalam sesi ini beragam syair dan pantun saling disampaikan dan terdengar bersahutan antara aneuk syahi dan syeikh yang diikuti oleh semua penari. Jika Syeikh mengucapkan walahuet ka sineut apet ee kataheeee..hai syam, aneuk syahi akan menjawab:

Lom kameuhijoe-hijoe naleung samboe leubehh lom hijo naleung beulanda.

Unsur humor atau lawak dalam istilah seudati disebut lanie untuk penutup sesi, sambil memperbaiki formasi yang sebelumnya sudah tidak beraturan, setelah itu dilanjutkan dengan Kisah. Dalam sesi ini seluruh pemain mengambil posisi rest (istirahat sejenak), sementara aneuk syahi melantunkan syair yang mengisahkan kehidupan masyarakat, sejarah Aceh dan perkembangan suatu negeri, yang dapat kita simak melalui syair berikut ini:

Aceh Utara cahya gemilang.... Aron Blang Lancang teudong LNG.... Pabrek Pupok PIM ngen Asean. Bak Bineeh Jalan teudoeng meubanja.

Terjemahannya kira-kira seperti ini: “Aceh Utara sangat gemilang. PT Arun di Blang Lancang dibangun Kilang LNG, Pabrik Pupuk PIM dan Asean. Di pinggiran jalan berdiri berjejer.”

Ca’e panyang atau Kisah sesekali Aneuk syahi juga selain memuji kemegahan dalam pembangunan juga mengeritik pabrik yang tidak memperhatikan masyarakat sekitar seperti dalam syair berikut ini:

Tapi sayang siribee sayang, ureng Blang Lancang ka taheu mata. Artinya, sungguh sayang seribu kali sayang, orang Blang Lancang hanya jadi penonton saja. Di babak akhir Seudati juga dibumbui dengan Gambus, biasanya lagu-lagu bernafaskan Islam, bisa lagu melayu atau arab, tidak meski lagu Aceh.

Perkembangan Seudati

Tidak diketahui secara pasti tahun berapa perkembangan dimulai. Di Pidie, Seudati pada mulanya tumbuh di desa Gigieng, Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Pidie, yang dipimpin oleh Syeh Tam. Kemudian berkembang ke Desa Didoh, Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie, yang dipimpin oleh Syeh Ali Didoh. Namun, yang sangat terkenal adalah almarhum Syeh Lah Bangguna dari Meureudu, Pidie Jaya. Di Bireuen seudati muncul di daerah pesisir seperti Lancok dan Kuala Raja. Di daerah tanah kelahiran Syehlah Geunta ini di Medio 80-an sampai tahun 90-an sangat sering diadakan Seudati tunang baik di pasar atau di tempat-tempat terbuka lain.

Di Aceh Utara pada tahun 80-an kita sangat mengenal Syeh Nek Rasyid dari Blang Lancang, di Krueng Mane ada Syeh Kop (M.Yacob) dari Gampong Paloh Raya (almarhum), juga Syeh Lah Baroena (almarhum), Syeh Hasmuni dan lain-lain yang tidak mungkin disebutkan satu per satu. Di Krueng Geukueh masyarakat sangat mengenal Syeh Manyak (saat ini dalam kondisi sakit). Setiap waktu tunang digelar, kecuali saat maulid dan Ramadhan yang sangat sepi dari event. 

Begitu juga di daerah lain di Aceh Utara bagian tengah dan timur seperti Geudong, Alue Ie Puteeh, dan Panton Labu, dimana tarian ini sangat digemari dan setiap mukim dan gampong ada grup dan syeikhnya tersendiri yang dibiayai sendiri oleh masyarakatnya. Di Aceh Timur ada Syeh Din Misee Teumaga dari Idi, di Langsa ada Syeh Yoldi Prima yang juga penyanyi Aceh yang sempat menelurkan beberapa Album Aceh.

Pada masa konflik seudati sangat jarang dipertunjukkan di muka umum atau lapangan terbuka. Bisa dikatakan hampir tak ada event kecuali pada 17 Agustus yang diadakan di Ibu Kota Kecamatan. Itu pun diprakarsai oleh Muspika. Pada masa ini juga bisa kita katakan masa-masa suram untuk perkembangan seudati di negeri sendiri. Setelah perdamaian, praktis hampir tak ada pembinaan dari pemerintah terhadap grup-grup seudati yang tumbuh di gampong-gampong. Mereka hanya menunggu event besar Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) setiap lima tahun sekali. Itu pun sangat tergantung siapa yang berkuasa dan ketersediaan dana dari pemerintah.

Dalam kurikulum sekolah-sekolah dan kampus, tarian heroik ini juga belum menjadi bagian penting yang belum terpikirkan, apalagi di tingkat implementing. Nah, kalau ini dibiarkan, kita siap saja mengusung jenazah seudati dan jangan pernah salahkan anak negeri. Seperti dalam panton Aceh “Kon salah cangguk jiduk lam kubang, kon salah rangkang bubong katireeh, kon salah aneuk nanggroe han jitueng tarian, salah awak mat pemerintahan akay jih paleeh.”

sumber: http://www.atjehcyber.net/2011/12/seudati-riwayatmu-kini.html

SHARE THIS

Author:

Facebook Comment