Ia menyerang seorang diri patroli 18 marsose di Padang Tiji. Belanda menggelarnya heldhaftig.
Heldhaftig bermakna yang gagah berani, gelar itu diberikan Veltman, perwira Belanda yang melihat sendiri keberanian Pocut Di Biheue menyerang patroli pasukan Belanda ketika hendak ditangkap.
Biheue merupakan sebuah desa di Padang Tiji, Kabupaten Pidie. Di desa itulah sejarah itu bermula. Pocut Di Biheue berarti Pocut yang berasal dari Biheue, sementara nama aslinya Pocut Meurah Intan. Namanya kini ditabalkan pada taman hutan raya (Tahura) antara perbatasan Kabupaten Pidie dan Aceh Besar di ketinggian gunung Seulawah.
Pada zaman kerajaan Aceh, Biheue berada di bawah wilayah sagi XXII Mukim, Aceh Besar. Setelah krisis politik pada akhir abad XIX, kenegerian ini kemudian menjadi bagian wilayah XII Mukim, yang mencakup Pidie, Batee, Padang Tiji, Kalee dan Laweung.
Dalam Prominent Women in The Glimpse of History (Wanita-wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah) riwayat singkat dan asal usul Pocut Di Biheue dijelaskan oleh T Ibrahim Alfian dkk. Dalam buku yang diterbitan Bank Exim pada tahun 1994 itu dijelaskan, Pocut Di Biheue merupakan keturunan keluarga Bangsawan dari kalangan Kesultanan Aceh.
Ayahnya Keujruen Biheue berasal dari keturunan Pocut Bantan. Keterangan itu sesuai dengan keterangan Veltman dalam “Nota over de Geschiedenis van het Landscap Pidie (1919). Keteragan lainnya juga diungkap Zentgraaff, dalam buku Atjeh, terbitan Beuna, Jakarta, 1983 terjemahan Aboe Bakar. Selain itu, Aboe Bakar juga mengambil sumber dari De Atjeh-Oorlog, yang ditulis Paul Van’t Veer yang memuat tentang Koloniaal Verslag, 1905, terbitan Uitgeverij De Arbeiderspres, Amsterdam 1969.
Dari beberapa sumber yang jadi rujukan Aboe Bakar itu disebutkan, suami Pocut Di Biheu bernama Tuanku Abdul Majid, putra Tuanku Abbas bin Sultan Alaiddin Jauhar Alam Syah. Tuanku Abdul Majid merupakan salah seorang anggota keluarga Sultan Aceh yang tidak mau berdamai dengan Belanda. Ia gigih melawan Belanda di Selat Malaka sekitar Laweung dan Batee, yang kerap menyerang kapal-kapal dari maskapai berbendera Beanda. Karena itu pula ia dicap Belanda sebagai Zeerover, yakni perompak laut.
Sebutan itu dipopulerkan oleh C Snouck Hourgronje dalam buku De Atjeher, untuk memojokkan orang Aceh dengan sebutan perompak dan pengganggu keamanan kapal-kapal yang melewati Selat Malaka. Padahal apa yang dilakukan Tuanku Abdul Majid sesuai dengan tugasnya dari Kesultanan Aceh, yakni sebagai pejabat kesultanan yang ditugaskan untuk mengutip bea cukai di Pelabuhan Kuala Batee.
Dari perkawinan dengan Tuanku Abdul Majid, Pocut Muerah Intan memperoleh tiga orang putra yaitu Tuanku Muhammad yang dipanggil Tuanku Muhammad Batee, Tuanku Budiman dan Tuanku Nurdin. Dalam Koloniaal Veslag tahun 1905 diriwayatkan, Pocut Di Biheue merupakan figur dari keluarga kerajaan Aceh yang paling anti terhadap Belanda. Ia satu-satunya tokoh dari kalangan Kesultanan Aceh yang tidak tunduk pada Belanda hingga tahun 1904.
Suatu ketika dalam tahun dan tangal yang tak disebutkan, Tuanku Abdul Majid ditawan Belanda. Hal itu tidak menyurut langkan Pocut Di Biheue untuk melanjutkan perlawanannya. Ia mengajak serta ketiga puteranya untuk terus melawan Belanda di daerah kekuasaannya di Biheue. Mereka berperang secara gerilya. Dua dari tiga putra Pocut Di Biheue kemudian terkenal sebagai pemimpin perlawanan yang menjadi buronan Belanda yakni Tuanku Muhamamd Batee dan Tuanku Nurdin.
Belanda bersama pasukan marsosenya terus menyerang Biheue dan wilayah XII Mukim, Pidie dan sekitarnya. Namun gagal menemukan Pocut Di Biheue bersama putra-putranya itu. Sejumlah perwira Belanda bersama pasukannya ditugaskan ke Pidie untuk melacak keberadaan Pocut Di Biheue.
Doup, penulis Belanda dalam tulisannya, Gedenkboek van het Marechausse van Atjeh en Onderhoorigheden (1940), menulis sejumlah nama komandan pasukan marsose yang bertugas melacak dan mengejar kedua putra Pocut Di Biheue itu. Para komandan marsose yang kebagian tuga itu antara lain Letnan J J Burger, Letnan Jhr J J Boreel, dan Sersan Feenstra.
Seorang Diri Melawan 18 Marsose
Untuk mengejar Pocut di Biheue dan putranya, Belanda terus meningkatkan aktivitas patrolinya. Karena itu ruang gerak gerilyawan Aceh jadi sempit. Akhirnya, setelah sekian lama melakukan pengejaran, pada Februari 1900, Tuanku Muhammad Bate tertangkap di kawasan Tangse.
Meski ditawan Belanda, Tuanku Muhamamd Batee tetap menolak untuk mengakui Belanda. Ia tetap bersikukuh tak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial tersebut. Karena itu, berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda nomor 25, ia dibuang ke Tondano, Sulawesi Utara.
Tak lama kemudian, keberadaan Pocut Di Biheue juag diketahui Belanda. Ia berhadapan seorang diri dengan patroli marsose. Karena terdesak oleh belasan tentara Belanda, Pocut Di Biheue mencabut rencong dari pinggangnya, ia menyerang patroli itu seorang diri. “Kalau begini, biarkan aku mati,” teriaknya.
Pocut Di Biheue memilih menyerang patroli itu dari pada ditangkap. Melihat itu, tentara marsose terkejut. Mereka tak menyangka, seorang perempuan paruh baya berani menyerang patroli 18 tentara Belanda lengkap dengan senjata. Ia menikam ke kiri dan ke kanan sehingga mengenai tubuh beberapa marsose. Sementara tubuhnya sendiri juga ditebas dengan sabetan pedang marsose.
Pocut Di Biheue mengalami dua luka sabetan pedang di kepalanya dan dua sabetan di bahu. Salah satu urat keningnya juga putus. Ia terbaring di tanah bersimbah darah dan lumpur. Melihat Pocur Di Biheue yang sudah tak berdaya, seorang sersan bertanya pada Veltman komandannya. Ia minta ijin untuk mengakhiri penderitaan Pocut Di Biheue, ia ingin menembaknya hingga meninggal. “Bolehkan saya melepaskan tembakan pelepas nyawa?” tanya sersan itu.
Veltman kemudian membentak sersan tersebut. “Apa kau sudah gila.” Veltman kemudian membungkuk dan menjulurkan tangannya untuk membantu Pocut Di Biheue, tapi mukanya diludasi, “Jangan kau pegang aku kaphe,” kata Pocut Di Biheue sambil setelah meludah wajah Veltman.
Veltman yang dikenal sebagai tuan pedoman, perwira Belanda yang bisa berbahasa Aceh itu kemudian meniggalkan Pocut Di Biheue seorang diri. Veltman ingin agar Pocut Di Biheue yang sekarat itu meninggal bisa menghembus nafasnya di hadapan bangsanya sendiri.
Namun dugaan Veltman bahwa Pocut Di Biheue akan meninggal karena lukanya itu ternyata meleset. Beberapa hari setelah kejadian itu, Veltman bersama pasukannya kembali patroli ke kawasan Keude Biheue, antara Sigli dan Padang Tiji mendengar bahwa Pocut Di Biheue bukan saja masih hidup, tapi juga berencana untuk kembali menyerang patroli Belanda.
Veltman pun mencari tahu bagaimana wanita perkasa itu bisa bertahan dari lukanya. Dari warga di sana diketahui bahwa untuk menyembuhkan lukanya, Pocut Di Biheue mengoleskan kotoran lembu di lukanya. Veltman kagum dengan keberanian Pocut Di Biheue, karena itu ia membawa seorang dokter bersamanya ketika menjenguk Pocut Di Biheue dalam masa penyembuhan di kediamannya.
Ketika Veltman sampai, Pocut Di Biheue masih sangat lemah akibat banyak kehilangan darah. Tubuhnya menggigil, ia mengerang kesakitan. Meski begitu, ia tetap menolak bantuan dokter yang dibawa Veltman untuk merawatnya. “Jangan kau sentuh aku, lebih baik aku mati dari pada tubuhku dipegang kaphe,” katanya.
Veltman yang fasih berbahasa Aceh terus membujuk Pocut Di Biheue agar mau diobati. Akhirnya ia menerima juga bantuan dokter itu, tapi tentara pribumi dari pasukan marsose pimpinanVeltman yang mengobatinya. Ia tidak mau tubuhnya dipegang oleh Belanda. Lukanya yang sudah berulat dibersihkan diobati dan dibalut dengan perban. Masa penyembuhan Pocut Di Biheue berlangsung lama. Meski demikian, ia akhirnya sembuh wajau pincang seumur hidup.
Berita tentang Pocut Di Biheue akhirnya sampai kepada Scheuer, komandan militer Belanda. Ia menyatakan keinginannya untuk bertemua dengan perempan yang dinilainya sangat luar biasa, yang menyerang 18 tentara Belanda dengan 18 karaben seorang diri.
Ketika Scheuer sampai ke kediaman Pocut Di Biheue, wanita gagah perkasa itu belum sembuh betul. Di hadapan Pocut Di Biheue, Scheuer, komandan militer Belanda itu mengambil sikap sebagai seorang prajurit. Ia mengangkat tabik tanda hormat dengan meletakkan ujung jari-jarinya di ujung topi petnya. “Katakan padanya, bahwa saya sangat kagum padanya,” kata Scheuer pada Veltmant. Veltman pun menterjemahkan apa yang dikatakan Scheuer terhadap Pocut Di Biheue itu. Pocut Di Biheue yang sudah kelihatan kurus pun tersenyum. “Kaphe ini boleh juga,” katanya.
Setelah sembuh dari luka, Pocut Di Biheue bersama putranya, Tuanku Budiman dipenjarakan di Kutaraja. Sementara Tuanku Nurdin putra Pocut Di Buheue lainnya terus melanjutkan perjuangan melawan Belanda di kawasan Laweung dan Kale.
Dalam Koloniaal Verslag, 1905 dijelaskan, setelah ibunya tertangkap Tuanku Nurdin melakukan siasat perlawanan baru. Pada Juni 1904, ia melapor kepada Belanda di Padang Tiji seolah-olah menyerahkan diri agar Pocut Di Biheue dan Tuanku Budiman dibebaskan, tapi di tolak Belanda.
Ia kemudian pada Agustus tahun itu juga kembali ke Biheue, bergabung kembali dengan rekan-rekan seperjuangannya untuk meneruskan perlawanan terhadap Belanda. Tapi pada 1 November 1904, pasukan marsose yang dipimpin J J Burger mengepung tempat persembunyiannya.
Di tempat persembunyian itu terdapat wanita dan anak-anak. Burger memerintahkan agar anak-anak dan wanita keluar. Ketika semua perempuan dan anak-anak keluar, Burger mendekati tempat persembunyian Tuanku Nurdin. Melihat itu, Tuanku Nurdin menembak Burger hingga terjerembah ke tanah. Pasukan marsose jadi panik. Dalam kepanikan itu, Tuanku Nurdin menyelinap dan meloloskan diri dari blokade Belanda. Ia meninggalkan empat pengikutnya yang gugur di tempat itu, dua marsose juga tewas tertembak. Sementara J J Burger sendiri menderita luka parah.[]
Sumber : http://iskandarnorman.blogspot.com
Heldhaftig bermakna yang gagah berani, gelar itu diberikan Veltman, perwira Belanda yang melihat sendiri keberanian Pocut Di Biheue menyerang patroli pasukan Belanda ketika hendak ditangkap.
Biheue merupakan sebuah desa di Padang Tiji, Kabupaten Pidie. Di desa itulah sejarah itu bermula. Pocut Di Biheue berarti Pocut yang berasal dari Biheue, sementara nama aslinya Pocut Meurah Intan. Namanya kini ditabalkan pada taman hutan raya (Tahura) antara perbatasan Kabupaten Pidie dan Aceh Besar di ketinggian gunung Seulawah.
Pada zaman kerajaan Aceh, Biheue berada di bawah wilayah sagi XXII Mukim, Aceh Besar. Setelah krisis politik pada akhir abad XIX, kenegerian ini kemudian menjadi bagian wilayah XII Mukim, yang mencakup Pidie, Batee, Padang Tiji, Kalee dan Laweung.
Dalam Prominent Women in The Glimpse of History (Wanita-wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah) riwayat singkat dan asal usul Pocut Di Biheue dijelaskan oleh T Ibrahim Alfian dkk. Dalam buku yang diterbitan Bank Exim pada tahun 1994 itu dijelaskan, Pocut Di Biheue merupakan keturunan keluarga Bangsawan dari kalangan Kesultanan Aceh.
Ayahnya Keujruen Biheue berasal dari keturunan Pocut Bantan. Keterangan itu sesuai dengan keterangan Veltman dalam “Nota over de Geschiedenis van het Landscap Pidie (1919). Keteragan lainnya juga diungkap Zentgraaff, dalam buku Atjeh, terbitan Beuna, Jakarta, 1983 terjemahan Aboe Bakar. Selain itu, Aboe Bakar juga mengambil sumber dari De Atjeh-Oorlog, yang ditulis Paul Van’t Veer yang memuat tentang Koloniaal Verslag, 1905, terbitan Uitgeverij De Arbeiderspres, Amsterdam 1969.
Dari beberapa sumber yang jadi rujukan Aboe Bakar itu disebutkan, suami Pocut Di Biheu bernama Tuanku Abdul Majid, putra Tuanku Abbas bin Sultan Alaiddin Jauhar Alam Syah. Tuanku Abdul Majid merupakan salah seorang anggota keluarga Sultan Aceh yang tidak mau berdamai dengan Belanda. Ia gigih melawan Belanda di Selat Malaka sekitar Laweung dan Batee, yang kerap menyerang kapal-kapal dari maskapai berbendera Beanda. Karena itu pula ia dicap Belanda sebagai Zeerover, yakni perompak laut.
Sebutan itu dipopulerkan oleh C Snouck Hourgronje dalam buku De Atjeher, untuk memojokkan orang Aceh dengan sebutan perompak dan pengganggu keamanan kapal-kapal yang melewati Selat Malaka. Padahal apa yang dilakukan Tuanku Abdul Majid sesuai dengan tugasnya dari Kesultanan Aceh, yakni sebagai pejabat kesultanan yang ditugaskan untuk mengutip bea cukai di Pelabuhan Kuala Batee.
Dari perkawinan dengan Tuanku Abdul Majid, Pocut Muerah Intan memperoleh tiga orang putra yaitu Tuanku Muhammad yang dipanggil Tuanku Muhammad Batee, Tuanku Budiman dan Tuanku Nurdin. Dalam Koloniaal Veslag tahun 1905 diriwayatkan, Pocut Di Biheue merupakan figur dari keluarga kerajaan Aceh yang paling anti terhadap Belanda. Ia satu-satunya tokoh dari kalangan Kesultanan Aceh yang tidak tunduk pada Belanda hingga tahun 1904.
Suatu ketika dalam tahun dan tangal yang tak disebutkan, Tuanku Abdul Majid ditawan Belanda. Hal itu tidak menyurut langkan Pocut Di Biheue untuk melanjutkan perlawanannya. Ia mengajak serta ketiga puteranya untuk terus melawan Belanda di daerah kekuasaannya di Biheue. Mereka berperang secara gerilya. Dua dari tiga putra Pocut Di Biheue kemudian terkenal sebagai pemimpin perlawanan yang menjadi buronan Belanda yakni Tuanku Muhamamd Batee dan Tuanku Nurdin.
Belanda bersama pasukan marsosenya terus menyerang Biheue dan wilayah XII Mukim, Pidie dan sekitarnya. Namun gagal menemukan Pocut Di Biheue bersama putra-putranya itu. Sejumlah perwira Belanda bersama pasukannya ditugaskan ke Pidie untuk melacak keberadaan Pocut Di Biheue.
Doup, penulis Belanda dalam tulisannya, Gedenkboek van het Marechausse van Atjeh en Onderhoorigheden (1940), menulis sejumlah nama komandan pasukan marsose yang bertugas melacak dan mengejar kedua putra Pocut Di Biheue itu. Para komandan marsose yang kebagian tuga itu antara lain Letnan J J Burger, Letnan Jhr J J Boreel, dan Sersan Feenstra.
Seorang Diri Melawan 18 Marsose
Untuk mengejar Pocut di Biheue dan putranya, Belanda terus meningkatkan aktivitas patrolinya. Karena itu ruang gerak gerilyawan Aceh jadi sempit. Akhirnya, setelah sekian lama melakukan pengejaran, pada Februari 1900, Tuanku Muhammad Bate tertangkap di kawasan Tangse.
Meski ditawan Belanda, Tuanku Muhamamd Batee tetap menolak untuk mengakui Belanda. Ia tetap bersikukuh tak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial tersebut. Karena itu, berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda nomor 25, ia dibuang ke Tondano, Sulawesi Utara.
Tak lama kemudian, keberadaan Pocut Di Biheue juag diketahui Belanda. Ia berhadapan seorang diri dengan patroli marsose. Karena terdesak oleh belasan tentara Belanda, Pocut Di Biheue mencabut rencong dari pinggangnya, ia menyerang patroli itu seorang diri. “Kalau begini, biarkan aku mati,” teriaknya.
Pocut Di Biheue memilih menyerang patroli itu dari pada ditangkap. Melihat itu, tentara marsose terkejut. Mereka tak menyangka, seorang perempuan paruh baya berani menyerang patroli 18 tentara Belanda lengkap dengan senjata. Ia menikam ke kiri dan ke kanan sehingga mengenai tubuh beberapa marsose. Sementara tubuhnya sendiri juga ditebas dengan sabetan pedang marsose.
Pocut Di Biheue mengalami dua luka sabetan pedang di kepalanya dan dua sabetan di bahu. Salah satu urat keningnya juga putus. Ia terbaring di tanah bersimbah darah dan lumpur. Melihat Pocur Di Biheue yang sudah tak berdaya, seorang sersan bertanya pada Veltman komandannya. Ia minta ijin untuk mengakhiri penderitaan Pocut Di Biheue, ia ingin menembaknya hingga meninggal. “Bolehkan saya melepaskan tembakan pelepas nyawa?” tanya sersan itu.
Veltman kemudian membentak sersan tersebut. “Apa kau sudah gila.” Veltman kemudian membungkuk dan menjulurkan tangannya untuk membantu Pocut Di Biheue, tapi mukanya diludasi, “Jangan kau pegang aku kaphe,” kata Pocut Di Biheue sambil setelah meludah wajah Veltman.
Veltman yang dikenal sebagai tuan pedoman, perwira Belanda yang bisa berbahasa Aceh itu kemudian meniggalkan Pocut Di Biheue seorang diri. Veltman ingin agar Pocut Di Biheue yang sekarat itu meninggal bisa menghembus nafasnya di hadapan bangsanya sendiri.
Namun dugaan Veltman bahwa Pocut Di Biheue akan meninggal karena lukanya itu ternyata meleset. Beberapa hari setelah kejadian itu, Veltman bersama pasukannya kembali patroli ke kawasan Keude Biheue, antara Sigli dan Padang Tiji mendengar bahwa Pocut Di Biheue bukan saja masih hidup, tapi juga berencana untuk kembali menyerang patroli Belanda.
Veltman pun mencari tahu bagaimana wanita perkasa itu bisa bertahan dari lukanya. Dari warga di sana diketahui bahwa untuk menyembuhkan lukanya, Pocut Di Biheue mengoleskan kotoran lembu di lukanya. Veltman kagum dengan keberanian Pocut Di Biheue, karena itu ia membawa seorang dokter bersamanya ketika menjenguk Pocut Di Biheue dalam masa penyembuhan di kediamannya.
Ketika Veltman sampai, Pocut Di Biheue masih sangat lemah akibat banyak kehilangan darah. Tubuhnya menggigil, ia mengerang kesakitan. Meski begitu, ia tetap menolak bantuan dokter yang dibawa Veltman untuk merawatnya. “Jangan kau sentuh aku, lebih baik aku mati dari pada tubuhku dipegang kaphe,” katanya.
Veltman yang fasih berbahasa Aceh terus membujuk Pocut Di Biheue agar mau diobati. Akhirnya ia menerima juga bantuan dokter itu, tapi tentara pribumi dari pasukan marsose pimpinanVeltman yang mengobatinya. Ia tidak mau tubuhnya dipegang oleh Belanda. Lukanya yang sudah berulat dibersihkan diobati dan dibalut dengan perban. Masa penyembuhan Pocut Di Biheue berlangsung lama. Meski demikian, ia akhirnya sembuh wajau pincang seumur hidup.
Berita tentang Pocut Di Biheue akhirnya sampai kepada Scheuer, komandan militer Belanda. Ia menyatakan keinginannya untuk bertemua dengan perempan yang dinilainya sangat luar biasa, yang menyerang 18 tentara Belanda dengan 18 karaben seorang diri.
Ketika Scheuer sampai ke kediaman Pocut Di Biheue, wanita gagah perkasa itu belum sembuh betul. Di hadapan Pocut Di Biheue, Scheuer, komandan militer Belanda itu mengambil sikap sebagai seorang prajurit. Ia mengangkat tabik tanda hormat dengan meletakkan ujung jari-jarinya di ujung topi petnya. “Katakan padanya, bahwa saya sangat kagum padanya,” kata Scheuer pada Veltmant. Veltman pun menterjemahkan apa yang dikatakan Scheuer terhadap Pocut Di Biheue itu. Pocut Di Biheue yang sudah kelihatan kurus pun tersenyum. “Kaphe ini boleh juga,” katanya.
Setelah sembuh dari luka, Pocut Di Biheue bersama putranya, Tuanku Budiman dipenjarakan di Kutaraja. Sementara Tuanku Nurdin putra Pocut Di Buheue lainnya terus melanjutkan perjuangan melawan Belanda di kawasan Laweung dan Kale.
Dalam Koloniaal Verslag, 1905 dijelaskan, setelah ibunya tertangkap Tuanku Nurdin melakukan siasat perlawanan baru. Pada Juni 1904, ia melapor kepada Belanda di Padang Tiji seolah-olah menyerahkan diri agar Pocut Di Biheue dan Tuanku Budiman dibebaskan, tapi di tolak Belanda.
Ia kemudian pada Agustus tahun itu juga kembali ke Biheue, bergabung kembali dengan rekan-rekan seperjuangannya untuk meneruskan perlawanan terhadap Belanda. Tapi pada 1 November 1904, pasukan marsose yang dipimpin J J Burger mengepung tempat persembunyiannya.
Di tempat persembunyian itu terdapat wanita dan anak-anak. Burger memerintahkan agar anak-anak dan wanita keluar. Ketika semua perempuan dan anak-anak keluar, Burger mendekati tempat persembunyian Tuanku Nurdin. Melihat itu, Tuanku Nurdin menembak Burger hingga terjerembah ke tanah. Pasukan marsose jadi panik. Dalam kepanikan itu, Tuanku Nurdin menyelinap dan meloloskan diri dari blokade Belanda. Ia meninggalkan empat pengikutnya yang gugur di tempat itu, dua marsose juga tewas tertembak. Sementara J J Burger sendiri menderita luka parah.[]
Sumber : http://iskandarnorman.blogspot.com