Monday, May 9, 2016

Mengenang Dokter Fauziah (Nama Rumah Sakit Umum Daerah Bireuen)

dr. Fauziah Daud

AsoeLhoek - Nama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bireuen, telah terukir dengan “ceceran darah” dr Fauziah. Bagi paramedis, perlu mencontoh keteladanan yang telah ditunjukkan pahlawan kemanusiaan itu, dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Foto berukuran sepuluh inci itu, tergantung di dinding salah satu ruangan Rumah Sakit Umum (RSUD) dr Fauziah Bireuen. Sekilas, tidak ada kesan istimewa dengan foto tersebut. Selain ukurannya yang relatif umum, foto berbingkai kayu itu juga terlihat kusam. Kesannya, foto itu tidak pernah dibersihkah.
Tapi, tahukah Anda sosok dalam foto tersebut? Dia tak lain adalah almarhumah dokter Fauziah yang namanya ditabalkan untuk nama rumah sakit itu.
Siapa almarhumah dr Fauziah? Karir terakhirnya, menjabat sebagai Kepala Puskesmas Peudada. Isteri Drs Muhammad Yahya ini, tewas dalam melaksanakan tugas mulia di pedalaman Kabupaten Bireuen. Dia ditembak sekelompok orang tak dikenal (OTK), Selasa, 25 Mei 1999 silam.
Insiden berdarah tersebut terjadi 14 tahun lalu di kawasan Gampong Cot Kruet, Kecamatan Peudada, Kabupaten Aceh Utara (sekarang Kabupaten Bireuen). Masih segar dalam ingatan, terutama bagi masyarakat Bireuen. Peristiwa berdarah itu berawal dari informasi seorang Keurani (kades-red) yang melaporkan, telah terjadi penembakan di Gampong Alue Kuta, Kecamatan Peudada, yang mengorbankan warga transmigrasi.
Sebelumnya, kejadian yang menewaskan dua warga transmigrasi tersebut, telah dilaporkan masyarakat di sana ke Polsek dan Koramil Peudada. Lalu, pihak keamanan melaporan hal itu ke atasan mereka.

Atas laporan tersebut, diturunkanlah Pasukan Penindak Rusuh Massa (PPRM) yang bermarkas di Kota Bireuen untuk mendukung tim kecamatan yang akan melakukan identifikasi mayat serta melakukan penelitian di Tempat Kejadian Perkara (TKP).
Selasa pagi itu, tim kecamatan dengan didukung PPRM bertolak ke TKP. Dalam tim itu diikutsertakan pula tim medis yang terdiri dari Kepala Puskesmas Peudada, dr Fauziah, bersama empat perawat yang akan membantu visum et repertum terhadap jasad korban penembakan yang telah terbujur kaku di lahan transmigrasi Alue Kuta.
Mulanya, tim medis tersebut akan berangkat dengan menggunakan ambulan Puskesmas Peudada. Namun, mereka tidak jadi berangkat dengan ambulan tersebut. Sebab, pihak keamanan menawarkan kepada dr Fauziah bersama empat tenaga medis di Puskesmas itu, agar menumpangi truk keamanan dari satuan PPRM. Tawaran itu, disetujui dr Fauziah.
Kemudian, mereka berangkat ke lokasi. Dr Fauziah duduk di jok depan di samping sopir truk. Sekitar belasan menit kemudian, truk pasukan tersebut sampai di Gampong Cot Kruet, Kecamatan Peudada, atau beberapa kilometer lagi dari TKP.

Tiba-tiba, truk itu diberondong sekelompok orang bersenjata. Mereka menghujani tembakan dari atas bukit di balik semak belukar. Tak ayal, tembakan beruntun itu mengenai tubuh dr Fauziah. Dia yang sedang mengandung tiga bulan itu pun, gugur sebagai pahlawan. Mustafa, seorang perawat di puskesmas yang dipimpin Fauziah, juga ikut tewas. Sedangkan sejumlah aparat keamanan, menderita luka tembak.
Peristiwa yang merenggut nyawa dokter umum kelahiran Gampong Bugak Krueng Mate, Kecamatan Jangka, bersama bawahannya itu, cepat tersiar ke masyarakat dan Bireuen pun berkabung. Tidak saja keluarga dan rekan sejawat almarhumah yang menangis, tapi langit di atas Kabupaten Bireuen pun berubah hitam, ikut berduka. “Innalillahi Wa Inna Ilaihirajiun. Selamat jalan ‘Kartini’ Bireuen.”
Kalimat itu terlontar dari para pelayat ketika itu. Hampir semua warga sepakat, ramai-ramai mengu-tuk keras aksi penembakan yang telah menewaskan dua nyawa tenaga medis yang bekerja untuk kemanusiaan.
Penembakan yang membuat Bireuen menangis terjadi saat bermula konflik bersenjata antara Pemerintah RI dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kejadian itu memang telah lama berlalu, namun cacatan ‘hitam’ semacam itu hendak-nya tidak terulang lagi. Sementara pengabdian yang telah ditoreh dokter perempuan itu, bagi warga Bireuen merupakan hal yang tidak bisa dibayar dengan apapun. Kecuali iringan doa, semoga “Kartini” Bireuen itu ditempatkan di sisi-Nya.
Untuk mengenang ketulusan dr Fauziah atas tugas mulianya itu, nama alumni Fakutas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (USU) itu, telah diabadikan untuk nama rumah sakit tersebut. Pengukuhan nama dr Fauziah ini, tertuang melalui Surat Keputusan Bupati Bireuen Nomor 017 Tahun 2001 Tanggal 27 Januari 2001.
Nama dr Fauziah memang telah dilekatkan pada rumah sakit milik Pemkab Bireuen. Tentu, itu untuk me-ngenang atas dedikasi dan pengor-banan yang tulus dari seorang dokter dalam mengemban tugas kemanusian. Keputusan Pemkab Bireuen yang meng-hargai jasa dr Fauziah, me-mang pantas diacungi jempol. Tapi, cukup itu sajakah?
Penabalan nama dr Fauziah sebagai nama rumah sakit Bireuen, tentu harapannya agar para dokter dan tenaga medis dapat mencontoh apa yang telah dijalankan dr Fauziah dalam memberikan pertolongan medis sampai ke pelosok desa. Meski dalam menjalankan tugas mulia itu, dia harus kehilangan nyawa sekalipun.
Kisah tewasnya dr Fauziah, tentu berbeda dengan sejarah keberadaan RSUD dr Fauziah itu sendiri. Rumah sakit ini dibangun sekitar tahun 1929 (masa Kolonial Belanda). Tahun 1971, sesuai Peraturan Menteri Kesehatan RI, setiap Kecamatan seluruh Indonesia harus memiliki satu unit Puskesmas induk. Maka, status rumah sakit ini diturunkan menjadi Puskesmas Jeumpa. Status puskesmas diubah lagi menjadi RSUD Kabupaten tahun 1992. Sekarang statusnya menjadi BLU Rumah Sakit dr Fauziah Bireuen.
Dengan berstatus BLU, rumah sakit ini dapat dikelola dari “dalam”, Artinya, pendapatan dan pengeluaran dapat dikelola sendiri oleh manaje-men rumah sakit tersebut. Tapi, pertanggungjawabannya tetap kepada Pemkab Bireuen. Yang perlu dipertanyakan, dengan keleluasaan pengelolaan anggaran tersebut, apakah telah dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat?
Dari catatan KoranBireuen, pelayanan Rumah Sakit dr Fauziah Bireuen, belum sesuai harapan. Teru-tama tentang ‘semangat’ kerja bebe-rapa dokter yang terlihat masih belum begitu maksimal dalam membe-rikan pelayanan kesehatan kepada masya-rakat. Masalah lainnya, sarana di rumah sakit kebanggaan masyarakat Bireuen ini, juga masih sangat minim.
Menurut sumber KoranBireuen, kedisiplinan tenaga medis, termasuk para dokter, masih rendah. Diduga ada yang mengutamakan melayani pasien di tempat praktek atau klinik, ketimbang melayani pasien di RSUD dr Fauziah, sebagai tempat tugas utamanya.

“Tak salah membantu orang di tempat praktek, tapi yang datang ke rumah sakit itu umumnya orang kurang mampu, maka perlu diutamakan,” kata Muhammad, seorang warga Bireuen.
Bukan hanya tenaga dokter di lingkungan rumah sakit, dokter di bawah dinas kesehatan juga harus lebih ‘prima’ lagi. Lihat saja beberapa dokter yang mendapat kepercayaan sebagai Kepala Puskesmas di Kabupaten Bireuen. Menurut sumber KoranBireuen, ada yang enggan menetap di Puskesmas, karena alasan tertentu. Meski, itu hanya perilaku segelintir oknum dokter.
Dengan mengenang kembali pengorbanan dr Fauziah yang namanya telah menyatu dengan rumah sakit tersebut. Kita harapkan, itu bisa memacu semangat kerja para petugas kesehatan di Kabupaten Bireuen ini. Terutama, dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, agar lebih maksimal lagi.(A Hadi Djuli)


SHARE THIS

Author:

Facebook Comment