Tuesday, April 26, 2016

Wisata Pemandian Air Dingin Di Lhok Pawoh

Wisata Pemandian Air Dingin Di Lhok Pawoh

Pemandian air dingin, begitulah sebutan kawasan wisata yang terletak di desa Lhok Pawoh, Kecataman Sawang, Kabupaten Aceh Selatan. Objek wisata yang tiap harinya ramai dikunjungi masyarakat setempat maupun pendatang ini memiliki area pemandian yang luas, air yang dingin serta panorama alam pegunungan yang indah dan memberi kesegaran.

http://fokusaceh.blogspot.com/2012/09/wisata-pemandian-air-dingin-di-lhok-pawoh.html

Obek wisata yang berlokasi sekitar 30 kilometer dari Kota Tapak Tuan ini merupakan salah satu tujuan wisata utama bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Selain mudah dijangkau karena bertempat di pingiran jalan raya Balang Pidie- Tapak Tuan, di kawasan ini juga terdapat sejumlah rumah makan dan cafe yang menyediakan berbagai ragam makanan dan minuman serta mushalla yang bersih dan terata rapi.

Air terjun yang indah, bebataun yang besar dan tinggi seakan telah menjadi ciri khas objek wisata ini. Kawasan pemandian air dingin juga hanya berjarak 100 meter dari pesisir laut yang berpasir putih. Sehingga bagi pengunjung yang ingin mandi dan menikamati panoraman laut akan dengan mudah menjangkunya.

Amin, pengunjung dari Blang Kejeran, Kabupaten Aceh Tenggara mengatakan, pemandian air dingin sawang memiliki panorama alam yang sejuk serta sangat cocok dijadikan sebagai tempat melepas lelah.

“Kalau sudah ada di sini sepertinya semua lelah menjadi hilang seketika, termasuk rasa gerah akibat cuaca yang panas pun berubah dingin ketika menyentuh air yang berasal dari pengunungan yang tinggi,” katanya.

Sementara Rahmat, warga setempat menilai kawasan wisata air dingin sangat banyak membantu masyarakat setempat, selain dijadikan tempat mandi, sepanjang alirannya juga kerap kali digunakan kaum ibu sebagai tempat mencuci pakaian.

“Sepulang bekerja, saya selalu menyempatkan diri untuk singgah dan mandi di sini, sehingga sesampai di rumah nanti sudah bersih dan hanya tinggal mengganti pakaian saja,” ujar pria yang kesehariannya bekerja sebagai nelayan itu.

Hal senada juga diungkapkan Anhar, warga Sawang yang kini menjadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Banda Aceh. Menurut dia, wisata air dingin telah manjadi tempat favorit baginya, maka setiap kali pulang ke kampung halaman dia selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke sana.

“Saya harap kawasan wisata air dingin ini akan dapat terus dirawat dan dijaga dengan baik, termasuk dari segi kebersihan maupun penyalahgunaan oleh muda-mudi yang terkadang menggunakannya untuk hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam,” ungkapnya seraya bersiap-siap pulang usai mandi di kawasan tersebut.

Bagi anda yang akan bepergian ke Aceh Selatan, sudah sepantasnya untuk menyempatkan diri mengunjungi pemandian air dingin Sawang guna menikmati kesejukan alam dengan pepohonan yang hijau di antara pengunungan yang menjulang tinggi dan desiran air terjun yang senantiasa menghadirkan kesejukan bagi anda. *** (Acun)
Dipublikasikan di Tabloid Sipil Edisi III (1 - 15 Mei 2008)

Sumber : http://bangcut.blogspot.co

Tuesday, April 19, 2016

Tueng Bila Pada Masa Penjajahan Aceh

Tueng Bila Pada Masa Penjajahan Aceh


Perang Belanda di Aceh merupakan salah satu perang yang dikategorikan cukup lama, membawa korban banyak dan biaya yang besar. Dalam rangka menyelesaikan perang agar tidak terus berkepanjangan ini, Belanda menugaskan Snouck Hurgronje untuk mengadakan penelitian. Hasil penelitian, rakyat Aceh yang taat beragama Islam tidak mungkin menyerah kepada kafir sebelum mereka ditundukkan dengan kekerasan, sikap menunggu dan kompromi tidak akan membawa hasil. Hasil penelitian ini kemudian dijabarkan dengan membentuk korps Marechausee, pasukan berani mati dan sangat kejam.
Kanji rumbi menu buka puasa khas Aceh

Kanji rumbi menu buka puasa khas Aceh

Bagi masyarakat aceh kanji rumbi tentunya sudah tidak asing lagi, Setiap bulan ramadhan menu yang satu ini selalu menjadi hidangan pembuka di setiap mesjid. Kanji rumbi hanya bisa diperoleh di tempat-tempat tertentu, itu pun di mesjid - mesjid yang menyedikan buka puasa bersama.
Pisang Sale Oleh-Oleh Dan Jajanan khas Aceh

Pisang Sale Oleh-Oleh Dan Jajanan khas Aceh


Sale pisang adalah makanan hasil olahan dari buah pisang yang disisir tipis kemudian dijemur. Tujuan penjemuran adalah untuk mengurangi kadar air buah pisang sehingga pisang sale lebih tahan lama. Pisang sale ini bisa langsung dimakan atau digoreng dengan tepung terlebih dahulu. selain itu, saat ini sale pisang mempunyai berbagai macam rasa seperti rasa keju. Saat ini, produksi pisang sale sudah menembus pasar internasional. Sale pisang merupakan produk pisang yang dibuat dengan proses pengeringan dan pengasapan. Sale dikenal mempunyai rasa dan aroma yang khas.
Sejarah Gajah Aceh Yang Agung

Sejarah Gajah Aceh Yang Agung

Di masa lampau, gajah Aceh menjadi simbol keagungan. Rakyat menghormatinya dalam beberapa upacara.

Demi menangani serangan gajah liar terhadap permukiman warga, sejumlah dokter hewan spesialis gajah dari beberapa negara Asia berkumpul di Universitas Syiah Kuala akhir Maret lalu. Di Aceh serangan gajah liar meningkat berkelindan dengan meluasnya perambahan hutan. Konflik manusia dengan gajah tak terhindarkan. Gajah diburu dan dimusuhi. Akibatnya, populasi gajah di Aceh menurun. Pada 2011, menurut Badan Konservasi Sumber Daya Aceh, hanya tersisa 540 ekor. Padahal, pada zaman Kesultanan Aceh abad ke-17, gajah memenuhi rimba dan menjadi simbol keagungan.

Sebelum Kesultanan Aceh berdiri, kerajaan-kerajaan di utara Pulau Sumatra telah menjadikan gajah sebagai bagian tak terpisahkan dari kerajaan. Menurut M. Junus Djamil, seorang raja di Pidie memilih gajah sebagai tunganggannya. “Dalam tahun 500 masehi didapati kerajaan yang bernama Poli, yaitu Pidie sekarang, rakyatnya beragama Buddha, rajanya mengendarai gajah,” tulis Djamil dalam Gadjah Putih Iskandar Muda.


Sultan Perlak pada 1146 juga gemar mengendarai gajah berhias emas, sebagaimana dikutip Djamil dari Kitab Rihlah Abu Ishak al-Makarany. Sementara Marcopolo menyebut Samudra Pasai sebagai kerajaan yang mempunyai banyak gajah, dan sebagian besar kepunyaan raja.

Dalam Rihlah Ibnu Batutah, Ibnu Batutah memberikan deskripsi lebih lengkap mengenai gajah Samudra Pasai pada 1345. Selain dimiliki Raja, gajah-gajah itu juga menjadi bagian armada perang kerajaan. Jumlahnya 300 gajah. Meski untuk berperang, gajah-gajah itu tetap dihias. Menurutnya, kekuatan dan kemegahan armada Gajah Samudra Pasai hanya bisa disaingi oleh Kerajaan Delhi (India).
Ketika Kesultanan Aceh berdiri pada paruh pertama abad ke-16, gajah tetap menjadi hewan andalan, selain kuda. Sultan-sultan Aceh masa itu tersohor sebagai penunggang gajah yang mahir. Kecakapan menunggang gajah dianggap salah satu simbol keagungan sultan. Gajah-gajah pun dirawat dengan baik.
Gajah-gajah liar di pedalaman diburu bukan untuk diambil gadingnya, melainkan untuk dijinakkan. Setelah jinak, gajah yang dipandang terbaik dan terbesar akan dijadikan gajah sultan. Sisanya untuk armada perang Aceh. Gajah-gajah perang itu dihias seindah mungkin dengan emas dan permata. Suatu pemandangan yang dapat ditemukan di India.

Kebanggaan Kesultanan Aceh terhadap gajah berlanjut hingga abad ke-17. Iskandar Muda, calon sultan, akrab dengan gajah sejak kecil. Indra Jaya, seekor anak gajah, menjadi teman bermain Iskandar Muda kecil. Kakeknya, Sultan Alau’ddin Riayat Syah, memberikan gajah itu saat Iskandar berumur 5 tahun. Iskandar senang menerimanya.

Dia menghabiskan sebagian besar waktu bermainnya dengan anak gajah itu. Menginjak usia 7 tahun, dia mulai berburu gajah liar yang berada dalam hutan. Saat beranjak dewasa, Iskandar Muda telah mahir menunggangi gajah. Mengutip Hikayat Aceh, Anthony Reid dalam “Elephants and Water in The Feasting of Seventeenth Century Aceh,” dimuat dalam An Indonesian Frontier, menyebut sultan muda itu berlatih menunggang gajah tiap Senin dan Kamis. Sultan muda itu meneruskan tradisi kemahiran sultan Aceh dalam menunggangi gajah.

Tamu-tamu asing Kesultanan Aceh terpukau dengan gajah-gajah di sana. Sebaliknya, Aceh membanggakan gajah-gajahnya pada tamu-tamu asing. Untuk menyambut tamu asing, gajah dipersiapkan sebaik mungkin, baik perangai, kesehatan maupun perhiasannya. John Davies, navigator Inggris, mengungkapkan pengalamannya mengunjungi istana sultan pada 1599. “Saya berkendara ke istananya dengan seekor gajah,” tulis Davies dalam “Kunjungan Pertama Belanda Berakhir Buruk, 1599,” dimuat dalam Sumatera Tempo Doeloe.

Dia juga menyebut gajah dapat digunakan sebagai alat eksekusi hukuman mati. Gajah bisa merobek badan orang hingga pecah berkeping-keping. Catatan Francois Martin, pedagang Prancis, pada 1602 menguatkan cerita Davies. Hukuman mati dengan gajah dikenakan pada pezina dan pembunuh.
Meski gajah sempat menjadi alat eksekusi, fungsi utama gajah sebagai simbol kebesaran kesultanan Aceh tak terbantahkan. Augustin de Beaulieu, pedagang Prancis, menyaksikan bagaimana Aceh merupakan panggung teater besar para gajah pada 1621. Dalam catatannya, “Kekejaman Iskandar Muda”, dimuat dalam Sumatera Tempo Doeloe, dia menyebut Aceh memiliki 900 ekor gajah. Karena melimpahnya armada gajah, Aceh tak memerlukan benteng kota. “Gajah-gajah tempurnyalah yang merupakan benteng kota sesungguhnya,” tulis Denys Lombard dalam Kerajaan Aceh.

Gajah-gajah itu dilatih berperang sehingga tak takut ketika suara senapan yang memekakkan berbunyi disamping telinga besarnya. Sultan memberikan gajah-gajah itu nama sedangkan rakyat memberi penghormatan kepada gajah-gajah yang sultan gunakan. Ketika parade, gajah-gajah itu diiringi bunyi-bunyian yang membahana dari alat-alat musik seperti terompet, tamborin, dan simbal.

Catatan lain mengenai gajah Aceh berasal dari Peter Mundy, pelancong Inggris. Meski hanya mengunjungi Aceh selama 10 hari, dia melihat upacara besar yang menyertakan banyak gajah pada 1637. Dia mendeskripsikan dengan sangat jelas upacara yang digelar saat perayaan Idul Adha. Upacara itu dihadiri khalayak termasuk orang asing. Sultan mengundang semua rakyat hadir, dari jelata hingga bangsawan.

Dalam upacara itu, 30 gajah berhias terbagi dalam beberapa baris. Ada empat gajah tiap barisnya. Sebagian gajah ditutupi kain sutra sehingga hanya terlihat kaki, telinga, mata, dan belalai mereka. Gajah raja terlihat mencolok. Dengan hiasan kain mewah yang menutupi hampir seluruh tubuh dan menara setinggi satu meter di punggungnya, gajah itu berada paling belakang. Menurut Takeshi Ito dalam The World of The Adat Aceh, tesis pada Australian National University, “dalam masa damai, gajah menjadi bagian integral dalam prosesi itu sebagaimana tertuang dalam kitab Adat Aceh.”

Ito menambahkan Aceh tak hanya mengoleksi gajah tapi juga mengeskpor atau membarternya dengan sejumlah kuda atau hewan lain ke beberapa wilayah seperti Srilanka. Pada masa Sultanah Safiatuddin (1641-1675), kepemilikan gajah tak terbatas lagi pada sultan. Orang kaya boleh memilikinya. Seiring meredupnya Kesultanan Aceh, gajah tak lagi menempati posisi penting dalam upacara keagamaan atau armada perang. Memasuki abad ke-20, nasibnya semakin naas; hanya menjadi barang buruan dan dagangan. Bahkan menjadi musuh warga.

sumber: http://iloveaceh.blog.com/?p=333
Mengupas Jejak Perjuangan Hasan Tiro

Mengupas Jejak Perjuangan Hasan Tiro

“...Saya akan merasa gagal jika tidak mampu mewujudkan hal ini, harta dan kekuasaan bukanlah tujuan hidup saya dan bukan pula tujuan perjuangan ini. Saya hanya ingin rakyat Aceh makmur sejahtera dan bisa mengatur dirinya sendiri...” 

Buku setebal 266 halaman itu ditulis Hasan Tiro selama enam tahun bergerilya di rimba Aceh. Pertama kali ia pulang ke Aceh pada Sabtu, 30 Oktober 1976. Hari itu ia tiba di Kuala Tari, Pasi Lhok, Sebuah desa nelayan, Kabupaten Pidie sekitar pukul 08.30 pagi, setelah 25 tahun menetap di Amerika. Dari tempat itu dia melanjutkan perjalanan ke arah timur.
Jejak Aceh Di Tanah Arab

Jejak Aceh Di Tanah Arab

”Asyi”, sebutan marga Aceh dikalangan orang Arab. Gelar Asyi ini adalah merupakan sebuah pengakuan identitas bagi setiap orang Aceh di Arab Saudi yang terhormat, sehingga gelar "al-Asyi" ini kemudian bisa dikatakan sebagai salah satu marga Aceh yang wujud di Tanah Arab.


Penulis M. Adli Abdullah (*

Sebutan negeri Aceh adalah tidak asing bagi sebagian orang Arab walaupun sekarang hanyalah salah satu propinsi di negeri ini. Karena itu, saya memandang bahwa martabat orang Aceh di Arab Saudi sangat luar biasa. Sejauh ini, gelar ini memang tidak begitu banyak, namun mengingat kontribusi para Asyi ini pada kerajaan Saudi Arabia, saya berkeyakinan bahwa ada hubungan yang cukup kuat secara emosional antara tanah Arab ini dengan Serambinya, yaitu Aceh.
Janji Megawati Untuk Aceh

Janji Megawati Untuk Aceh


“Untuk rakyat Aceh, percayalah, Cut Nyak tak akan membiarkan setetes pun darah tumpah di Tanah Rencong...” MEGAWATI

SEDIKIT sekali yang ingat tentang hari itu, 30 Juli. Padahal, bagi ureueng Aceh hari ini merupakan salah satu hari sejarah janji, janji yang tidak pernah ditepati oleh seorang mantan Presiden Megawati Soekarno Putri.

Empat belas tahun silam, 30 Juli 1999, Megawati sempat berpidato di Aceh. Di hadapan ulama dan rakyat Tanah Serambi, Megawati berujar, “Untuk rakyat Aceh, percayalah, “Cut nyak” tak akan membiarkan setetes pun darah tumpah di Tanah Rencong.”
Menguak Jejak Yahudi Di Aceh

Menguak Jejak Yahudi Di Aceh

http://fokusaceh.blogspot.com/2012/09/menguak-jejak-yahudi-di-aceh.html
Pernahkah kita mempertanyakan hal ini? Jika belum silahkan pertanyakan segera! Atau pernahkah anda memperhatikan simbol-simbol bangunan, baju, topi, tas, film-film yang beredar ataupun bentuk bangunan-bangunan di Aceh, seperti hotel-hotel? Jika belum, coba perhatikan. Dan… apa yang telah anda dapatkan?
Ternyata begitu banyak simbol-simbol ataupun gambar-gambar benda-benda diatas yang membentuk simbol-simbol Yahudi. Sebut saja logo Bintang David dan Mata Horus atau The All Seeing Eye. Sekurang-kurangnya ada dua gedung yang memakai simbol ini, yakni, Hermes Palace’s Hotel dan Aceh Eye Center.
Sejarah Asal Nama Sabang dan Pulau Weh

Sejarah Asal Nama Sabang dan Pulau Weh

Berbicara mengenai sejarah, nama Sabang sendiri berasal dari bahasa arab, Shabag yang artinya gunung meletus. Mengapa gunung meletus? mungkin dahulu kala masih banyak gunung berapi yang masih aktif di Sabang, hal ini masih bisa dilihat di gunung berapi di Jaboi dan Gunung berapi di dalam laut Pria Laot.

Resep Dan Cara Mambuat Timphan Asokaya

Resep Dan Cara Mambuat Timphan Asokaya

Timphan Aceh

Bahan Srikaya :
- Telur ayam 1 gelas duralex panjang
- Gula pasir 1 gelas duralex panjang
- Santan kelapa kental 1 gelas duralex panjang (1/4 nya pati daun pandan)
- Jintan manis (halus) 1 sendok teh
- Vanili ½ sendok teh
- Kayu manis 1 cm

Bahan Adonan :
- Tepung ketan Rose Brand 1 kantong
- Pisang ayam matang 8 buah
- Santan kental 1 gelas duralex panjang

Bahan lain :
- Daun pisang muda
- Garam secukupnya
- Mentega secukupnya

Cara membuatnya :
1. Srikaya
Gula dan telur dicampur dan dikocok dengan mixer, setelah rata masukkan santan kelapa lalu kocok lagi sampai merata. Masukkan jintan manis, vanili, dan kayu manis dan kocok lagi. Sesudah rata kemudian dikukus sampai matang.

2. Adonan
Pisang ayam ditambah gula 2 sendok makan dan garam 1 sendok teh dimasak dengan santan sampai matang, angkat dan dinginkan.

Campur pisang tadi dengan tepung menjadi adonan (banyaknya tepung disesuaikan, sehingga dapat menjadi adonan yang baik). Pemasukan tepung ke dalam adonan dilakukan secara sedikit demi sedikit sehingga nantinya adonannya tidak keras (batat). Kemudian bentuk adonan menjadi bulat lebih kurang sebesar buah duku.

3. Timphan
Siapkan daun pisang muda sebesar kurang lebih 15 x 20 cm, lamuri dengan minyak goreng yang dicampur dengan mentega sedikit. Pipihkan adonan bulat tadi (teh timphan). Sesudah pipih masukkan masukkan srikaya ke dalam adonan dan dibalut. Bungkus timphan tadi dengan daun yang rapi.
Kukus sampai matang.

4. Selamat mencoba.
Resep Dan Cara Membuat Mie Aceh

Resep Dan Cara Membuat Mie Aceh

http://fokusaceh.blogspot.com/2012/07/resep-dan-cara-membuat-mie-aceh.html

BAHAN SAYUR-SAYURAN :
- Mie kuning 1 kg
- Toge ¼ kg
- Kol ¼ buah
- Sawi 3 ikat
- Bunga Kol ½ kg
- Bawang Pre 2 batang
- Daun sop 2 ikat
- Udang ½ kg
- Indomie 2 bungkus
- Garam secukupnya

BAHAN BUMBU GILING :
- Bawang Merah 8 siung
- Bawang putih 6 siung
- Kemiri 5 buah
- Lada 1 sendok teh (peres)
- Cabe merah 10 buah
- Tomat 2 buah besar

BAHAN BUMBU RAJANG :
- Bawang merah 4 siung
- Timun 2 buah
- Krupuk Melinjo secukupnya

CARA PEMBUATAN
Tumis bumbu
Tambahkan bawang merah, udang, bawang pre, kol, sawi, bunga kol dan garam.
3. Tambahkan air secukupnya.
4. Sesudah sayuran agak matang masukkan mie kuning beserta indomie dengan
bumbunya.
Setelah hampir matang tambahkan toge dan daun sop
Angkat, sajikan dengan bawang goreng, krupuk melinjo dan buah timun
Selamat mencoba
Keu Karah, Sebagai Kue Tradisional Populer Di Aceh

Keu Karah, Sebagai Kue Tradisional Populer Di Aceh

Kue Karah adalah sejenis penganan yang cukup populer dikalangan masyarakat Aceh terbuat dari tepung beras, berbentuk segitiga --sering juga berbentuk lipat dua. Masyarakat Aceh menjadikan kue ini juga sebagai bagian dari adat dan upacara-upacara tradisional, khususnya di Aceh Barat, pada upacara pernikahan dan juga acara-acara kematian. Misal di Khanduri Peuet Ploeh. Namun, kue ini juga dikenal akrab oleh masyarakat di beberapa kabupaten lainnya di Aceh.



Pasca musibah tsunami, begitu banyak penduduk yang kehilangan pekerjaannya. Mereka berupaya mencari uang kembali untuk memenuhi kebutuhan mereka. Salah satu usaha yang dikelola oleh ibu-ibu penduduk Aceh tersebut adalah pembuatan Kue Karah, kue khas masyarakat Aceh.

Membuat kue karah merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh kebanyakan ibu-ibu di Banda Aceh. Kebanyakan ibu yang sudah berusia di atas 40 tahun dan umumnya berdagan sampai belasan tahun. Hal ini dilakukan para ibu penduduk Aceh karena keuntungan yang dihasilkan memang sedikit, namun usahanya tidak sekeras menjadi nelayan. Selain itu, para ibu bisa memperoleh uang tambahan untuk membantu anak-anak mereka untuk membeli makanan ringan di sekolah.

Para ibu di Aceh biasanya membuat kue karah secara individu dan dengan peralatan sederhana. Bahan-bahannya adalah minyak goreng, minyak tanah, tepung, kuali, dan lain sebagainya. Kue-kue ini biasanya dipasarkan ke Banda Aceh, Lhok Nga, Ule Kareng, Lambaro, Penayong, dan Cot Ke’eng

Sumber :www.acehpedia.org
Timphan, Makanan Khas Aceh Ketika Lebaran

Timphan, Makanan Khas Aceh Ketika Lebaran


Timphan adalah kue/hidangan khas Aceh disaat lebaran/hari raya baik hari raya Idul fitri maupun Idul Adha, Timphan ini dibuat 1 atau 2 hari sebelum lebaran dan daya tahannya bisa mencapai lebih kurang seminngu,Timphan adalah menu hidangan utama buat tamu yang berkunjung kerumah saat lebaran.

Bagi orang Aceh baik yang berada di Aceh sampai seluruh dunia tiada yang tidak mengenal ama kue/adonan yang satu ini,karena sudah menjadi tradisi turun temurun dan rahasia umum di Aceh bahwa yang namanya Timphan setiap ibu-ibu atau wanita di Aceh bisa membuatnya.

Timphan yang merupakan makanan lembek berbalut daun pisang muda ini yang paling terkenal adalah Timphan rasa srikaya. Sebelum menjelang lebaran bisanya ibu-ibu sudah menyiapkan daun pisang muda baik memetik di kebun atau beli dipasar.

Saking terkenalnya Timphan ini di Aceh, sehingga banyak ungkapan/pribahasa dengan kata Timphan diantaranya yaitu “Uroe goet buluen goet Timphan ma peugoet beumeuteme rasa” ( Hari baik bulan baik Timphan ibu buat harus dapat kurasakan).

Adapun bahan-bahan dan cara membuatnya sebagai berikut, tergantung seberapa porsi yang diinginkan , dibawah ini kita ambila bahan untuk 15 porsi (1 porsi lebih kurang sama dengan 114 kalori ):

Bahan :

Pisang raja dihaluskan 250 gram
Tepung ketan 200 gr
Santan kental 2 sdm
Air kapur sirih 1 sdm
Garam1/4 sdt

Isi :

Telur ayam 2 butir
Santan kental 50 ml
Gula pasir 100 GR
Nangka masak cincang kecil 25 gr
Tepung terigu ½ sdt
Daun pandan 1 lembar
Kelapa muda parut halus 50 gr
Vanilli ¼ sdt.

Cara membuatnya :
1. Campurkan semua bahan dasar dengan cara aduk tepung ketan dan pisang yang sudah dihaluskanserta masukkan santan,air kapur dan garam hingga tercampur rata,adonan ini digunakan untuk kulit.

2. Kocok telur dan gula hingga kental dengar mixer atau sejenisnya (sebelum ada mixer dulu ibu-ibu di Aceh ngeremas pake tangan) lalu masukkan tepung terigu dan santan kental, aduk hingga rata,tambahkan nangka masak yang sudah dicincang kecil-kecil dan kelapa muda parut halus lalu beri daun pandan, masak sampai kental,kemudian angkat beri vanilli lalu aduk rata lagi. Setelah matang dinginkan dan gunakan sebagai iosi timphan.

3.Ambil daun pisang muda yang telah dipotong –potong sesuai untuk satu ukuran timphan olesi dengan minyak lalu tipiskan adonan kulit tadi diatas daun kemudian beri adonan isi terus digulung, dibungkus seperti gambar di atas, kukus hingga matang selama lebih kurang 10 menit.

Selamat mencoba dan silakan nikmati


sumber: http://acehdalamsejarah.blogspot.com/2009/02/timphan-makanan-khas-aceh-saat-lebaran.html
Masakan Khas Daerah Aceh

Masakan Khas Daerah Aceh

http://fokusaceh.blogspot.com/
Kota Banda Aceh yang merupakan ibu kota Provinsi Aceh memiliki beraneka ragam jenis masakan yang menarik untuk dicoba, terutama masakan Aceh. Masakan Aceh merupakan perpaduan berbagai macam kebudayaan seperti Arab, India, Siam, Spanyol hingga Belanda. Masakan Aceh cenderung mirip dengan masakan Arab dan India yang menggunakan banyak bumbu dan rempah.

http://fokusaceh.blogspot.com/

Bicara tentang masakan Aceh tentunya tidak terlepas dari kebiasaan makan masyarakat Aceh. Hidangan tidak terlepas terlepas dari penggunaan bumbu. Cita rasa bumbu dan rempah yang padat sangat menggugah selera makan, sehingga tidak jarang dijumpai orang yang sedang makan hingga keringatan. Orang Aceh sangat menghargai makanan sehingga menggarap makanan dengan serius.

1.      Mie Aceh
Buat pencinta masakan yang pedas, Mie Aceh harus dicoba. Dicampur dengan sayuran segar dan bumbu-bumbu lainnya seperti, bawang putih, bawang merah, cabe dan lain-lain. Mie Aceh memiliki rasa yang lezat dan menantang. Biasa dicampur dengan kepiting, udang, telur, gurita dan daging sapi.

2.    Ayam Tangkap
Ayam Tangkap ini sangat terkenal di Aceh. Sajian makanan yang satu ini amat menarik, yaitu ayam berbumbu yang digoreng bersama daun rempah-rempah yg beraroma harum dan menggugah selera.

3.     Sie Masak Puteh
Terbuat dari campuran berbagai macam bumbu yang langsung meresap ke dalam daging sapi hingga ke tulangnya. Dicampur dengan santan kelapa, akan membuat anda meneteskan air liur untuk segera mencobanya.

4.     Gule Pli’ U
Makanan Khas Aceh ini terbuat dari berbagai macam sayuran yang dimasak dengan bumbu yang khas yaitu Pli’U (Kelapa yang telah dibusukkan)

5.     Eungkot Kayee
Ikan Kayu merupakan makanan tradisional Aceh yang paling banyak diminati oleh orang Aceh selain memiliki rasa yang lezat dan unik Ikan ini terbuat dari ikan tuna yang telah direbus kemudian dikeringkan yang kemudian diiris-iris kecil. Dimasak dengan menggunakan Santan Kelapa, Kentang, Cabai Hijau dan bahan rempah lainnya.
ikan kayu ini tahan lama untuk dibawa perjalanan jauh sehingga dapat dijadikan bekal dalam perjalanan.
Selama perang Aceh melawan Belanda di Hutan, jenis makanan ini sangat terkenal karena sangat mudah dibawa dan dimasak.

6.     Sie Reuboh
Sie Reboh Cuka adalah daging rebus yang dimasak dengan bumbu-bumbu yang dihaluskan kemudian ditambahkan cuka sehingga menimbulkan rasa asam yang segar. Biasanya menggunakan daging kambing dan daging sapi. Lebih enak disantap selagi hangat.

7.     Sambai Udeueng
Tidak mantap rasanya jika makan tanpa sambal. Orang Aceh memiliki banyak jenis sambal, salah satu diantaranya Sambal Udeueng atau yang dikenal dengan Cicah Udeueng. Terbuat dari Udang yang dihaluskan dengan beberapa bumbu seperti cabe rawit, bawang merah dan sedikit belimbing wuluh untuk menambah rasa segar.

8.     Beulacan
Belacan terbuat parutan kelapa yang diberi bumbu kemudian dibungkus dengan daun pisang muda dan dibakar hingga matang.

9.     Bu Briani
Bu Briani adalah nasi yang dikukus dengan berbagai macam bumbu dan rempah. Walaupun sudah komplit dengan daging dan bumbu lainnya, Biasanya Nasi Briani dilengkapi dengan Acar, Dalcan, dan Kerupuk Meuling (Kerupuk Melinjo)

10.    Boh Itek Masen
Telur Asin terbuat dari telur bebek yang diasinkan dengan cara yang tradisional, melengkapi hidangan dengan rasa yang manthap!

11.    Bubur Kanji Rumbi
Kanji Rumbi terbuat dari beras pulen yang ditumbuk kasar, kemudian direbus dan dicampur dengan bumbu seperti ketumbar, lada, bawang merah, jahe, biji pala dan adas manis. Biasanya disajikan dengan ayam dan udang, bila suka ada juga yang disajikan dengan telur setengah matang di atasnya.

12.     Tumeh Tirom
Tumeh Tirom adalah Tumis Tiram, masakan Aceh yang tidak terlalu banyak menggunakan bumbu karena ingin tetap merasakan manis yang berasal dari Tiram. Bahan yang ditambahkan kentang, cabe hijau dan sedikit Asam sunti.

13.    Bu Guri
Bu Guri atau Nasi Gurih mirip nasi uduk di jakarta ataupun mirip nasi lemak di Malaysia dan Singapura, tetapi Nasi Guri ini jauh lebih gurih dan aromatik.

14.    Peleumak Udeueng
Peleumak Udeueng adalah masakan yang terbuat dari udang yang dimasak dengan santan dan bumbu-bumbu masakan Aceh seperti Sunti.
Resep Membuat Kuah Pliek Masakan Khas Aceh

Resep Membuat Kuah Pliek Masakan Khas Aceh

http://fokusaceh.blogspot.com/2012/09/resep-membuat-kuah-pliek-u-makanan.aceh.html

BAHAN SAYUR-SAYURAN :
- Kacang panjang ¼ kg
- Daun melinjo 4 ikat
- Buah melinjo muda 1 ons
- Nangka muda 2 plastik
- Terong hijau 10 buah
- Kangkung 1 ikat
- Pliek U ¾ gelas duralex kecil
- Kalapa kukur 1 buah
- Udang ¼ kg- Kikil sesuka
- Garam secukupnya

BAHAN BUMBU GILING :
- Ketumbar giling kering 2 sdm
- Cabe merah 6 buah
- Cabe rawit 20 buah
- Bawang Merah 6 siung
- Bawang putih 3 siung
- Jahe 1 cm
- Kunyit halus 1 sdt
- Ketumbar masak 1 sdt
- Kelapa gongseng (ulhee) 2 sdm
- Merica bulat ½ sdm- Asam sunti 3 buah

BAHAN BUMBU RAJANG :
- Cabe hijau 9 buah
- Bawang merah 3 siung
- Sere 2 batang
- Daun jeruk 10 lembar

CARA PEMBUATAN
1. Gongseng pliek u dengan api kecil sampai harum baunya, tambahkan 1 gelas duralex panjang air sampai mendidih. Sesudah mendidih disaring (buang airnya). Blender pliek u hingga halus.
2. Rebus buah melinjo dan nangka muda sampai empuk (buang airnya)
3. Rebus kikil hingga empuk (buang airnya)
4. Potong sayur-sayuran, giling bumbu sampai halus dan rajang bumbu rajang.
5. Peras kelapa kukur sampai mejadi santan encer
6. Masukkan ke dalam panci sayur-sayuran, bumbu giling, bumbu rajang, udang, garam, pliek u (kecuali kangkung dan daun jeruk) aduk- aduk hingga rata. Masukkan air sedikit lalu direbus.
7. Sesudah berasap masukkan santan encer (aduk-aduk)
8. Ketika hampir matang masukkan kangkung dan daun jeruk
9. Selamat mencoba
Keragaman Indahnya Simeulue Dengan Lobsternya

Keragaman Indahnya Simeulue Dengan Lobsternya

AsoeLhoek ~ Kabupaten Simeulue, Provinsi Aceh, yang lebih dikenal karena sering digoyang gempa tektonik, ternyata memiliki obyek wisata alam, khususnya bahari yang cukup indah. Dari sekian banyak obyek wisata pantai, terdapat satu lokasi yang menarik, sehingga banyak wisatawan lokal yang menikmati indahnya alam, yakni pantai Teluk Tengku Diujung.
Tato Ala Wanita Aceh

Tato Ala Wanita Aceh


http://fokusaceh.blogspot.com/2012/09/tato-ala-wanita-aceh.htmlOleh Zulfikar Akbar (*

Tattoo, umumnya cenderung diidentikkan sebagai simbol kelelakian. Atau, jikapun dipergunakan oleh sebagian perempuan, terkadang lebih ditujukan sebagai isyarat pemberontakan. Bahwa ada protes yang dicoba wakilkan lewat tattoo di tubuhnya. Beda halnya dengan meugaca (berinai) dengan oen gaca (inai) yang dijadikan bahan tattoo oleh perempuan Aceh. Tattoo di sini lebih sebagai simbol yang lebih mengentalkan aura keperempuan mereka, dan tentu saja membuat mereka terlihat semakin cantik. Seperti apakah dimaksud?
Sirih, Dari Tradisi Hingga Sajian Pemulia Tamu

Sirih, Dari Tradisi Hingga Sajian Pemulia Tamu

Tradisi makan sirih merupakan warisan budaya masa silam, lebih dari 3000 tahun yang lampau atau di zaman Neolitik, hingga saat ini.

Budaya makan sirih hidup di Asia Tenggara. Pendukung budaya ini terdiri dari pelbagai golongan, meliputi masyarakat bawah, pembesar negara, serta kalangan istana.  Tradisi makan sirih tidak diketahui secara pasti dari mana berasal. Dari cerita-cerita sastra, dikatakan tradisi ini berasal dari India.
Tentang Tari Seudati Masa Kini

Tentang Tari Seudati Masa Kini



KATA seudati berasal dari bahasa Arab syahadati atau syahadatain, yang berarti kesaksian atau pengakuan. Dalam bahasa Aceh dialeknya berubah menjadi seudati. Seudati mulai dikembangkan sejak agama Islam masuk ke Aceh. Tarian ini sebagai media untuk mengembangkan Islam. Tarian ini cukup berkembang di Aceh Utara, Bireuen, Pidie, dan Aceh Timur. Dibawakan dengan mengisahkan pelbagai macam masalah yang terjadi agar masyarakat tahu bagaimana memecahkan suatu persoalan secara bersama.
Rumah Tradisional Aceh (Rumoh Aceh)

Rumah Tradisional Aceh (Rumoh Aceh)

Nenek moyang kita sudah merancang bangunan yang peduli pada kondisi alam sekitarnya dengan membuat rumah yang tahan gempa.

Rumah tradisional Aceh oleh warga setempat disebut rumoh Aceh. Bentuknya seragam, yakni persegi empat memanjang dari timur ke barat. Konon, letak yang memanjang itu dipilih untuk memudahkan penentuan arah kiblat.


Dari segi ukir-ukiran, rumoh Aceh di tiap-tiap kabupaten di Provinsi NAD tidaklah sama. Masing-masing punya ragam ukiran yang berbeda.

Saat ini jumlah rumah tradisional di kampungnya makin berkurang karena biaya yang diperlukan untuk membuat rumoh Aceh sudah jauh lebih mahal dibandingkan membangun rumah biasa/modern. Biaya perawatannya pun tak kalah menguras kantung.

Warga yang kebanyakan hidup sebagai pekerja, akhirnya memilih untuk membangun rumah modern. Kenyataan seperti itu sudah terjadi sejak 30 tahun lalu.

Padahal pada waktu lampau mayoritas warga di pemukiman rata-rata tinggal di rumah tradisional yang terbuat dari kayu dan beratap rumbia itu. Bahkan mereka yang berkecukupan, menghias rumah kayunya dengan ukir-ukiran dan ornamen lain. Sedangkan warga yang hidup pas-pasan, cukup membangun rumah kayu tanpa ukiran dan ornamen.

Tidak aneh, sebab hingga 1980-an warga masih mudah mendapatkan kayu sehingga biaya untuk membangun rumoh Aceh waktu itu terjangkau. Tapi, saat ini biaya untuk membangun rumah tradisional sudah dua kali lipat dari biaya rumah modern.

Komponen utama

Meski di tiap kabupaten/kota detilnya berbeda, rumoh Aceh secara umum memiliki komponen utama yang sama. Komponen utama rumoh Aceh ini diungkap dalam buku Budaya Masyarakat Aceh. Komponen itu adalah:

-Seuramou-keu (serambi depan) , yakni ruangan yang berfungsi untuk menerima tamu laki-laki, dan terletak di bagian depan rumah. Ruangan ini juga sekaligus menjadi tempat tidur dan tempat makan tamu laki-laki.

-Seuramou-likoot (serambi belakang), fungsi utama ruangan ini adalah untuk menerima tamu perempuan. Letaknya di bagian belakang rumah. Seperti serambi depan, serambi ini juga bisa sekaligus menjadi tempat tidur dan ruang makan tamu perempuan.

- Rumoh-Inong (rumah induk), letak ruangan ini di antara serambi depan dan serambi belakang. Posisinya lebih tinggi dibanding kedua serambi tersebut. Rumah induk ini terbagi menjadi dua kamar. Keduanya dipisahkan gang atau disebut juga rambat yang menghubungkan serambi depan dan serambi belakang.

- Rumoh-dapu (dapur), biasanya letak dapur berdekatan atau tersambung dengan serambi belakang. Lantai dapur sedikit lebih rendah dibanding lantai serambi belakang.

- Seulasa (teras), teras rumah terletak di bagian paling depan. Teras menempel dengan serambi depan.

- Kroong-padee (lumbung padi), berada terpisah dari bangunan utama, tapi masih berada di pekarangan rumah. Letaknya bisa di belakang, samping, atau bahkan di depan rumah.

- Keupaleh (gerbang), sebenarnya ini tidak termasuk ciri umum karena yang menggunakan gerbang pada umumnya rumah orang kaya atau tokoh masyarakat. Gerbang itu terbuat dari kayu dan di atasnya dipayungi bilik.

- Tamee (tiang), kekuatan tiang merupakan tumpuan utama rumah tradisional ini. Tiang berbentuk kayu bulat dengan diameter 20-35 cm setinggi 150-170 cm itu bisa berjumlah 16, 20, 24, atau 28 batang. Keberadaan tiang-tiang ini memudahkan proses pemindahan rumah tanpa harus membongkarnya.

Di masa lalu, atap rumoh Aceh terbuat dari rumbia. Jika terjadi kebakaran, atap rumbia itu bisa diturunkan hanya dengan memotong salah satu tali pengikat yang terbuat dari rotan atau ijuk.

Dulu, di depan tangga menuju rumah, biasanya terdepat guci. Benda ini berfungsi untuk menyimpan air untuk cuci kaki setiap hendak masuk ke rumah.

Salah satu bagian yang juga penting pada rumoh Aceh adalah tangga. Biasanya, tangga rumah terletak di bawah rumah. Setiap orang harus menyundul pintu dengan kepala supaya terbuka dan bisa masuk.

Jumlah anak tangganya, selalu ganjil. Satu lagi yang khas dari rumoh Aceh adalah bangunan tersebut dibuat tanpa paku.

Untuk mengaitkan balok kayu yang satu dengan yang lain cukup digunakan pasak atau tali pengikat dari rotan atau ijuk. Sebagian masyarakat Aceh, kadang juga menjadikan pekarangannya sebagai tempat pemakaman.

Secara lebih modern, kini rumah tradisional Aceh dari berbagai kabupaten/ kota diabadikan modelnya di Taman Ratu Safiatuddin, Banda Aceh.

Taman seluas 6 hektare itu dibangun dengan meniru Taman Mini di Jakarta. Namun kompleks itu tidak ada lagi sekarang, telah disapu bersih oleh gelombang tsunami pekan lalu.

dari:  http://zulfajri-aceh.blogspot.com/2012/03/nenek-moyang-kita-sudah-merancang.html
Kue Dan Minuman Khas Aceh

Kue Dan Minuman Khas Aceh

1.      Bhoi
Kue manis Aceh ini adalah Bolu tradisional Aceh, yang dijadikan bahan antaran mempelai ketika acara pernikahan, rasanya yang manis cocok disantap bersama kopi Aceh hangat.

2.      Keukarah
Melihat bentuknya yang seperti Sarang Burung Walet ini membuat orang banyak yang mengiranya terbuat dari  Sarang Burung Walet. Rasanya yang renyah  dan bentuknya  yang unik menjadikannya oleh-oleh yang  bisa dibawa kemana saja.
Seudati, Tarian Aceh Dengan Semangat Heroik

Seudati, Tarian Aceh Dengan Semangat Heroik

http://fokusaceh.blogspot.com/2012/10/seudati-tarian-aceh-dengan-semangat.htmlAceh - Provinsi Aceh tak hanya dikaruniai kekayaan alam yang mempesona nan elok, provinsi ini juga dikaruniai keragaman budaya khususnya dalam tarian. Selain tari Saman Aceh juga memiliki tari Seudati yang sangat digemari oleh masyarakat Aceh.

Pada mulanya tarian ini berkembang di Aceh Utara dan Pidie, kemudian tarian ini diperkenalkan ke Aceh Timur sehingga tarian ini menjadi tarian khas daerah ini.
Semanoe Pucok Adat Siraman Calon Pengantin

Semanoe Pucok Adat Siraman Calon Pengantin

http://fokusaceh.blogspot.com/2012/10/semanoe-pucok-adat-siraman-calon-pengantin.html
Semanoe Pucok (siraman atau mandi kembang) untuk calon pasangan calon pengantin wanita dan laki-laki di provinsi Aceh nyaris punah akibat minimnya pengetahuan warga tentang adat dan budaya perkawinan itu.

“Banyak masyarakat kita yang tidak melaksanakan lagi adat seumano pucok sehingga adat dan budaya ini hampir punah, ini akibat kurangnya pengetahuan tentang adat dan budaya seumano pucok,” kata tokoh adat Aceh Jauhari (49) di Banda Aceh, Rabu.

Tuesday, April 5, 2016

Jalan Jalan Ke Museum Aceh

Jalan Jalan Ke Museum Aceh


http://fokusaceh.blogspot.com/2012/10/jalan-jalan-ke-museum-aceh.html

Jam telah menunjukkan pukul tiga sore ketika saya memasuki gerbang Museum Aceh. Suasana di dalamnya terlihat begitu sepi. Hanya ada seorang lelaki paro baya yang duduk sambil melepas penat di tangga Rumoh Aceh, dua orang pelajar SMA yang sedang menaiki tangga, dan sepasang muda-mudi duduk sambil bercengkrama di bawah pohon di tengah-tengah museum. Memang, hari terasa sangat panas karena matahari begitu bersemangat memancarkan sinarnya. Mungkin inilah yang menyebabkan museum sepi meski hari ini adalah hari Minggu. Tetapi semangat saya untuk mengunjungi tempat dimana asal usul sebuah daerah dapat diketahui sama panasnya dengan udara siang ini. Saya begitu menggebu-gebu untuk dapat masuk ke dalamnya.
Foto-Foto benteng Peninggalan Belanda, Jepang di Sabang

Foto-Foto benteng Peninggalan Belanda, Jepang di Sabang

Asoelhok ~ Pulau Sabang (Weh Island) telah lama menjadi favorit wisatawan asing, karena pulau inilah yang layak bagi mereka. Banyak peninggalan-peninggalan sejarah yang bisa dijumpai di pulau ini selain pantai-pantai yang indah dan keren (lihat DISINI). Salah satu aset pariwisata Sabang dan sejarah adalah benteng peninggalan Belanda dan Jepang di Sabang pada era perang dunia II. Benteng-benteng ini hampir berada disekeliling pulau Sabang dan masyarakat mengharapkan agar pemerintah kota Sabang terus melestarikan benteng ini sebagai ikon kota Sabang. Inilah foto-foto benteng peninggalan Belanda dan Jepang di Pulau Sabang:
Warga Lamno Gelar Tradisi Seumeuleung Raja Daya

Warga Lamno Gelar Tradisi Seumeuleung Raja Daya

AsoeLhok ~ Masyarakat Lamno, Aceh Jaya, hari ini memperingati tradisi Seumeuleung Raja Daya di kompleks makam Po Teumeureuhom. Ini adalah prosesi adat yang sudah diperingati ratusan tahun untuk mengenang Sultan Saladin Riyatsyah yang menjadi penguasa setempat ratusan tahun lalu.  Di Aceh, inilah satu-satunya daerah yang masih melestarikan tradisi mengenang para raja.

"Saat ini masyarakat mulai berdatangan dengan membawa makanan. Prosesinya akan dimulai sekitar pukul 14.00 siang ini," kata Chaideer Mahyuddin, seorang fotografer yang berasal dari Lamno, Minggu, 28 Oktober 2012.
Modernisasi Warung Kopi Aceh

Modernisasi Warung Kopi Aceh

Asoelhok -  Meski sudah minum kopi di rumah, bagi sebagian besar masyarakat kota Banda Aceh rasanya masih hambar jika belum ke warung solong di sudut jalan T Iskandar kawasan Ulee Kareng, Kota Banda Aceh.

Cerita orang sebelum tsunami itu kini pas pula untuk diterapkan, soalnya dalam beberapa tahun terakhir banyak muncul warkop mirip solong, yang juga menyediakan menu bubuk kopinya khas Ulee Kareng.
Rencong, Senjata Pusaka Masyarakat Aceh

Rencong, Senjata Pusaka Masyarakat Aceh

Rencong atau Rincong atau Rintjoeng merupakan senjata pusaka bagi rakyat Aceh sebagai simbol keberanian, keperkasaan, pertahanan diri dan kepahlawanan aceh dari abad ke abad.

Menurut salah satu sumber Rencong telah dikenal pada awal Islam Kesultanan di abad ke-13.

DIjaman Kerajaan Aceh Darussalam rencong ini tidak pernah lepas dari hampir setiap pinggang ( selalu diselipkan dipinggang depan ) rakyat Aceh yang rata-rata punya keberanian luar biasa baik pria maupun wanita karena
Aceh, Keduri Tanpa Terikat Waktu

Aceh, Keduri Tanpa Terikat Waktu

http://fokusaceh.blogspot.com/2013/04/aceh-keduri-tanpa-terikat-waktu.htmlFokusAceh ~ Kenduri tak mengenal musim di Aceh. Bahkan, di kala perang, kenduri tetap berjalan. Begitulah, lewat kenduri orang Aceh saling mengikatkan diri.

Aroma kenduri Maulid tercium di awal pagi di Desa Pupu, Kecamatan Ulim, Kabupaten Pidie Jaya, pertengahan Februari lalu. Lepas subuh, Aisyah (51) dan Mardianah (38) sibuk menyiapkan aneka masakan yang akan dibawa ke meunasah (musala) tempat kenduri berlangsung. Tangan mereka cekatan membungkus nasi berbentuk kerucut dengan daun pisang batu.

Nasi itu lantas disusun meninggi di atas sebuah nampan bersama aneka lauk terbaik, mulai telur balado, rendang, kuah sup, hingga kari itik. Semakin tinggi isi nampan itu menunjukkan makin mapan si pembuat secara ekonomi. Nurdin, Kepala Museum Aceh, mengatakan, orang-orang kaya dulu menyusun hingga tujuh lapis lauk di atas nampan hidangan untuk dibawa ke meunasah.

Sekitar pukul 11.00, nampan berisi aneka masakan buatan Aisyah dan Mardianah dibawa ke meunasah. Di sana sudah ada belasan nampan lain yang disumbangkan warga. Dengan iringan doa, tetamu menyantap hidangan yang tersedia. Jika tidak habis, tetamu wajib membawa pulang hidangan. ”Kalau sampai ada sisa, kami bisa marah. Sebab, makanan yang kami hidangkan adalah sedekah,” kata Aisyah.

Maulid adalah salah satu kenduri wajib yang dirayakan besar-besaran di Aceh. Snouck Hurgrounje dalam buku Aceh di Mata Kolonialis menyebutkan, Maulid di Aceh tidak hanya terkait peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW, tetapi juga terkait ketaatan kepada Kerajaan Turki yang melindungi Kesultanan Aceh. Sultan Turki berpendapat, Aceh yang letaknya cukup jauh dari Turki tidak perlu mengirimkan upeti setiap tahun. Sebagai gantinya, Sultan memerintahkan Aceh menunjukkan ketaatannya dengan memperingati Maulid setiap tahun secara bersama-sama.

Itulah yang terjadi hingga kini. Desa-desa bergantian menggelar kenduri Maulid. Mereka saling mengundang dan mengunjungi. Jika sebuah desa menggelar kenduri Maulid, semua warga ikut terlibat. ”Ada yang menyumbang makanan, ada yang menyumbang tenaga demi menjamu tamu,” ujar Geucik (kepala desa) Pupu, Idris Yusuf.

Peringatan Maulid di Aceh merentang hingga empat bulan. Tahun ini, peringatan Maulid dimulai akhir Januari dan berakhir April nanti. Sepanjang waktu itu, ada saja kampung yang menggelar kenduri. Ketika berkunjung ke rumah Cut Rahmi di Montasik, Aceh Besar, ia mengundang kami untuk menghadiri kenduri esok harinya. Undangan serupa datang ketika kami bertandang ke rumah Cut Nyak Mizar di Meulaboh, Aceh Barat.

Maulid tidak hanya berlangsung di masa damai. Pada masa konflik antara GAM dan Pemerintah RI memanas, tentara-tentara GAM yang bergerilya di hutan tidak ketinggalan menggelar Maulid. Azhar Abdurrahman, mantan tentara GAM yang kini menjabat Bupati Kabupaten Pidie Jaya mengenang, setiap musim Maulid tiba, ia dan beberapa temannya berburu rusa.

Jika rusa tak didapat, mereka turun ke kampung untuk meminta sumbangan kambing kepada kerabat dan memesan bumbu kari. Daging rusa atau kambing itu lantas dimasak dengan bumbu kari lengkap di markas besar GAM di wilayah Lamno. Sejenak mereka melupakan perang dan beralih pesta kari.

”Itulah saat paling menyenangkan di dalam hutan. Buat kami Maulid itu wajib digelar pada masa damai ataupun perang,” ujar Azhar menegaskan. Tidak hanya Maulid, Azhar juga menggelar kenduri lainnya pada masa perang. Ketika anaknya berusia 40 hari, Azhar menyelinap ke rumahnya hanya untuk menggelar kenduri menjejakkan kaki anak ke tanah.

Kenduri galau

Begitulah, ada sederet kenduri yang biasa digelar masyarakat Aceh. Ada kenduri yang terkait dengan perayaan agama Islam, seperti Isra Miraj, Nuzulul Quran, dan Asyura. Ada kenduri yang terkait dengan daur hidup seseorang seperti kelahiran, sunatan, pernikahan, hingga kematian. Ada pula kenduri petani dan kenduri nelayan. Orang membangun rumah pun menggelar kenduri. Pindah rumah, mereka bikin kenduri lagi.
Pokoknya, orang Aceh punya banyak alasan untuk membuat kenduri. Ketika hati senang karena dapat uang, orang Aceh bikin kenduri. Ketika hati galau pun kami bikin kenduri.
-- Reza Idria

Ia mencontohkan, seorang kerabatnya yang bermimpi bertemu almarhum orangtuanya. Wajah almarhum terlihat masam. ”Besoknya dia bikin kenduri selamatan untuk almarhum. Buat orang Aceh kenduri itu bermakna sedekah. Semakin sering kenduri, semakin sering sedekah,” kata Reza.

Tidak mengherankan jika orang Aceh sepanjang tahun sibuk menggelar atau menghadiri undangan kenduri. ”Dalam dua minggu ini saya sudah menghadiri delapan kenduri, mulai dari akikah, pernikahan, maulid, hingga kenduri arisan,” ujar Reza yang mengaku sering kewalahan dengan aneka undangan kenduri.

Kalau Reza kewalahan, Rahman justru tidak. Dia dan teman-teman bahkan membentuk ”pasukan pemburu kenduri” yang kerjanya mengejar ke mana kenduri pergi. ”Lumayan bisa makan gratis,” katanya.

Sebanyak apa pun undangan kenduri yang datang, orang Aceh berusaha untuk memenuhinya. Pasalnya, kata Reza, kenduri adalah mekanisme sosial orang Aceh untuk saling mengikatkan diri dan saling mengunjungi. Agar ikatan sosial makin kuat, adat membuat setiap kampung saling bergantung. Di Gampong Lam U, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar, misalnya, setiap meunasah hanya boleh memiliki dua kuali meski mereka sebenarnya memerlukan empat kuali.

”Tujuannya agar ketika masak kari untuk kenduri, pengurus meunasah meminjam kuali kepada meunasah lain,” ujar Reza.

Dewa anggur
Tradisi kenduri di Aceh telah berumur panjang. Anthony Reid dalam buku Menuju Sejarah Sumatera menuliskan, raja-raja kesultanan Aceh biasa menggelar aneka kenduri dan perayaan megah yang disertai aneka hiburan termasuk untuk menjamu utusan asing. Meskipun, menurut Snouck Hurgrounje, (ketika itu) masyarakat Aceh kebanyakan masih kurang makan.

Reid menambahkan, ketika menjamu utusan Inggris, Thomas Best, Sultan Iskandar Muda menyuguhkan paling tidak 400 jenis makanan dan minuman yang cukup untuk santapan beratus-ratus prajurit. Begitulah, kenduri dan perayaan besar sekaligus digunakan untuk memperlihatkan kemegahan dan kejayaan kerajaan.

Orang asing yang melihatnya akan terpukau seperti yang diperlihatkan John Davis, petualang Inggris yang datang ke Aceh pada abad ke-16. Ia geleng-geleng kepala melihat kemewahan pesta yang digelar Sultan Aceh dari pagi hingga petang. ”Raja seperti ’dewa anggur’ dan sukacita,” katanya.

dari: http://www.acehinfo.com/2013/04/kenduri-tak-mengenal-musim-di-aceh.html
KERAJAAN POLI ( KERAJAAN PEDIR )

KERAJAAN POLI ( KERAJAAN PEDIR )

Sejarawan Aceh, M. Junus Jamil di dalam bukunya yang berjudul “Silsilah Tawarick Radja-Radja Kerajaan Aceh”, berisi tentang sejarah Negeri Pidie / Sjahir Poli. Kerajaan ini digambarkan sebagai daerah dataran rendah yang luas dengan tanah yang subur, sehingga kehidupan penduduknya makmur. Batas-batas kerajaan ini meliputi, sebelah timur dengan Kerajaan Samudra/Pasai, sebelah barat dengan Kerajaan Aceh Darussalam, sebelah selatan dengan pegunungan, serta dengan selat Malaka di sebelah utara.



Sementara dalam kisah pelayaran bangsa Portugal, Mereka menyebut Pidie sebagai Pedir, Sedangkan dalam kisah pelayaran bangsa Tiongkok disebut sebagai Poli. Asumsinya, orang Tiongkok tidak dapat menyebut kata “Pidie” seperti yang kita ucapkan. Dalam catatan pelayat Tiongkok itu disebutkan, bahwa Kerajaan Pedir luasnya sekitar seratus kali dua ratus mil, atau sekitar 50 hari perjalanan dari timur ke barat dan 20 hari perjalanan dari utara ke selatan.

Menurut M. Junus Jamil, Suku yang mendiami kerajaan ini berasal dari Mon Khmer yang datang dari Asia Tenggara yakni dari Negeri Campa. Suku Mon Khmer itu datang ke Poli beberapa abad sebelum masehi. Rombongan ini dipimpin oleh Sjahir Pauling yang kemudian dikenal sebagai Sjahir Poli. Mereka kemudian berbaur dengan masyarakat sekitar yang telah lebih dahulu mendiami kawasan tersebut.

Setelah berlabuh dan menetap di kawasan itu (Pidie-red), Sjahir Poli mendirikan sebuah kerajaan yang dinamai Kerajaan Sama Indra. Waktu itu mereka masih menganut agama Budha Mahayana atau Himayana. Oleh M Junus Djamil diyakini dari agama ini kemudian masuk pengaruh Hindu.

Lama kelamaan Kerajaan Sama Indra pecah mejadi beberapa kerajaan kecil. Seperti pecahnya Kerajaan Indra Purwa (Lamuri) menjadi Kerajaan Indrapuri, Indrapatra, Indrapurwa dan Indrajaya yang dikenal sebagai kerajaan Panton Rie atau Kantoli di Lhokseudu.

Kala itu Kerajaan Sama Indra menjadi saingan Kerajaan Indrapurba (Lamuri) di sebelah barat dan kerajaan Plak Plieng (Kerajaan Panca Warna) di sebelah timur. Kerajaan Sama Indramengalami goncangan dan perubahan yang berat kala itu,

Menurut M Junus Djamil, pada pertengahan abad ke-14 masehi penduduk di Kerajaan SamaIndra beralih dari agama lama menjadi pemeluk agama Islam, setelah kerajaan itu diserang oleh Kerajaan Aceh Darussalam yang dipimpin Sultan Mansyur Syah (1354 – 1408 M). Selanjutnya, pengaruh Islam yang dibawa oleh orang-orang dari Kerajaan Aceh Darussalam terus mengikis ajaran hindu dan budha di daerah tersebut.

Setelah kerajaan Sama Indra takluk pada Kerajaan Aceh Darussalam, makan sultan Acehselanjutnya, Sultan Mahmud II Alaiddin Johan Sjah mengangkat Raja Husein Sjah menjadi sultan muda di negeri Sama Indra yang otonom di bawah Kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan Sama Indra kemudian berganti nama menjadi Kerajaan Pedir, yang lama kelamaan berubah menjadi Pidie seperti yang dikenal sekarang.

Meski sebagai kerajaan otonom di bawah Kerajaan Aceh Darussalam, peranan raja negeri Pidie tetap dipererhitungkan. Malah, setiap keputusan Majelis Mahkamah Rakyat KerajaanAceh Darussalam, sultan tidak memberi cap geulanteu (stempel halilintar) sebelum mendapat persetujuan dari Laksamana Raja Maharaja Pidie. Maha Raja Pidie beserta uleebalang syik dalam Kerajaan Aceh Darussalam berhak mengatur daerah kekuasaannya menurut putusan balai rakyat negeri masing-masing.

Sementara Prof. D. G. E Hall dari Inggris, dalam bukunya "A History of South East Asia", mengambarkan Pidie sebagai sebuah negeri yang maju pada akhir abad ke 15. Hal itu berdasarklan catatan seorang pelawat Portugal, Ludovico di Varthema, yang pernah singgah di Pidie pada akhir abad 15.

Dalam catatan Varthema, sebagaimana dikutip Muhammad Said (Pengarang Buku Aceh Sepanjang Abad) dalam “Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah” pada abad tersebut Pedir, yang masih disebut sebagai negeri Pedir merupakan sebuah negeri maju yang setiap tahunnya disinggahi sekurang-kurangnya 18 sampai 20 kapal asing, untuk memuat lada yang selanjutnya diangkut ke Tiongkok, Cina.

Dari pelabuhan Pedir juga diekspor kemenyan dan sutra produksi masyarakat Pidie dalam jumlah besar. Karena itu pula, banyak pendatang dari bangsa asing yang berdagang ke pelabuhan Pedir. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan ekonomi warga pelabuhan waktu itu meningkat.

Bahkan vartheme menggambarkan, disebuah jalan dekat pelabuhan Pedir, terdapat sekitar 500 orang penukar mata uang asing. “So extensive was its trade, and so great the number of merchants resorting there, that one of its street contain about 500 honderd moneychanger,” kata Varhtema.

Varthema oleh Muhammad Said disebutkan sama seperti Snouck Horgronje, yang Islam untuk sebuah tujuan penelitian tentan dunia muslim. Sebelum ke Pedir, ia juga telah mempelajari Islam di Mekkah. Sesuatu yang kemudian juga dilakukan Snouck Hourgronje dari Belanda, tapi Snouck lebih terkenal ketimbang Varthema, karena berhasil menulis sejumlah buku tentang Aceh.

Dalam catatannya Varthema mengatakan takjub terhadap negeri Pedir yang saat itu sudah menggunakan uang emas, perak, dan tembaga sebagai alat jual beli, serta aturan hukum yang sudah berjalan dengan baik, yang disebutnya “Strict Administration of Justice,”.

Selain itu Varthema juga menulis tentang kapal-kapal besar milik nelayan yang disebut tongkang, yang menggunakan dua buah kemudi. Ia juga mengupas secara terperinci tentang keahlian rakyat Pedir tentang perindustrian kala itu, yang sudah mampu membuat alat-alat peletup atau senjata api.

Dalam sebuah riwayat Tiongkok (Cina) disebutkan, pada tahun 413 Masehi, seorang musafir Tiongkok, Fa Hian melawat ke Yeep Po Ti dan singgah Poli (Pidie-red). Fa Hian menyebutkan Poli sebagai sebuah negeri yang makmur, yang rajanya berkenderaan gajah, berpakaian sutra dan bermahkota emas.

Untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Cina, Raja Poli pada tahun 518 Masehi mengirim utusannya ke Tiongkok. Hubungan itu terus berlanjut. Pada tahun 671 Masehi, I Tsing dari Tiongkok melawat ke Poli. Ia disebut tinggal selama lima tahun singgah dan tingagl di enam kerajaan di pesisir Sumatera, mulai dari Kerajaan Lamuri (Aceh Besar), Poli (Pidie), Samudra dan Pasai (Aceh Utara), Pereulak (Aceh Timur) dan kerjaan Dangroian (?).

Poli sebagai Pidie yang dikenal sekarang, menurut H. M Zainuddin dalam bukunya “Tarikh Aceh dan Nusantara” disebutkan oleh ahli sejarawan kuno, Winster, sebagai sebuah negeri yang makmur dan jaya. Menurutnya, setelah Sriwijaya dan Pasai, Poli lah Bandar pelabuhan yang terkenal. Pelabuhan Poli disebut-sebut berbentu genting, yang oleh H M Zainuddin kemudian diduga sebagai sebuah muara yang kini dikenal sebagai Kuala Batee.

Menurut Varthema sumber Portugis mengatakan bahwa Sultan Ma’ruf Syah Raja Pidie (Pedir, Sjir, Duli) itu pernah menaklukkan Aceh Besar dalam tahun 1479. Masa itu diangkat dua orang wakil di Aceh, seorang di Aceh sendiri dan seorang di Daya. Mula-mula Pidie dikalahkan oleh Raja Aceh Besar dan di dudukkan oleh Wali Negara (Gubernur) di Pidie, yaitu Raja Ali dan adiknya, Ibrahim.

Kemudian Raja Ibrahim yang menjadi Wali Negara Raja Aceh di Pidie atas Perintah abangnya menyerbu Benteng Portugis yang baru didirikan di Kuala Gigieng. Cerita lain menyebutkan bahwa, Kuta Asan, Pidie, merupakan bekas kota yang didirikan Portugis.

Selanjutnya dengan sejata yang dirampas dari Portugis, Raja Pidie menyerang Raja Aceh Besar pada tahun 1514 dan Sultan Salahuddin Ibnu Muzaffar Syah diturunkan dari tahkta. Raja Ali naik menjadi raja dengan Gelar Sultan Ali Mughayat Syah, sedang adiknya Raja Ibrahim menjadi Laksamana.

Adapun Silsilah Raja-Raja / Pemimpin Pemerintahan Pidier saat itu adalah Sebagai berikut :

1.Maharaja Sulaiman Noer: Anak Sultan Husein Syah.
2.Maharaha Sjamsu Syah: Kemudian menjadi Sultan Aceh.
3.Maharaja Malik Ma’roef Syah: Putra dari Maharaja Sulaiman Noer. Mangkat pada tahun 1511 M, dikuburkan di Klibeut di sisi kuburan ayahnya.
4.Maharaja Ahmad Sjah: Putra Maharaja Ma’roef Syah. Pernah berperang melawan Sulthan Ali Mughayat Syah, tapi kalah. Mangkat pada tahun 1520 M, dikuburkan di Klibeut di sisi kuburan ayahnya.
5.Maharaja Husain Syah: Putra Sultan Riayat Syah II (Meureuhom Khaa), kemuian menggantikan ayahnya menjadi Sulthan Aceh.
6.Maharaja Saidil Mukamil: Putra dari Maharaja Firman Syah, kemudian menjadi Sulthan Aceh dari 1589 sampai 1604 M. Ayah dari ibu Sulthan Iskandar Muda.
7.Maharaja Husain Syah: Putra dari Sulthan Saidil Mukamil
8.Maharaja Meurah Poli: Meurah Poli Negri Keumangan dikenal sebagai Laksamana Panglima Pidie yang terkenal dalam perang Malaka (Pran Raja Siujud).
9.Maharaja Po Meurah: Syahir Poli, Bentara IX Mukim Keumangan yang bergelar Pang Ulee Peunaroe. Pengatur negeri Pidie.
10.Meurah Po Itam : Bentara Kumangan bergelar Pang Ulee Peunaroe.
11.Meurah Po Puan : Bentara keumangan bergelar Pang Ulee peunaroe
12.Meurah Po Thahir : Bentara Keumangan yang terkenal dalam perang Pocut Muhammad dengan Potue Djemaloiy (Sulthan Djamalul Alam Badrul Munir) pada tahun 1740 M. Ia mempunyai dua orang saudara: Meurah Po Doom dan Meurah Po Djoho.
13.Meurah Po Seuman: Pang Ulee Peunaroe dengan nama asli Usman.
14.Meurah Po Lateh: Pang Ule peunaroe dengan nama asli Abdul Latif, terkenal dengan sebutan Keumangan Teungeut.
15.Teuku Keumangan Yusuf: Sudah masuk masa perang Aceh dengan Belanda.
16.Teuku Keumangan Umar: Uleebalang IX Mukim, Pidie.

Referensi :
•http://iskandarnorman.blogspot.com
•http://harian-aceh.com
•http://aweaceh.blogspot.com
•http://www.lintasberita.us

Sumber : http://www.atjehcyber.tk
P.RAMLEE PERMATA ACEH DI NEGERI JIRAN

P.RAMLEE PERMATA ACEH DI NEGERI JIRAN

Siapa sangka, P. Ramlee alias Teuku Zakaria Teuku Nyak Puteh yang merupakan seorang penyanyi, musisi, aktor kawakan, dan sutradara film Malaysia adalah seorang bangsawan yang di dalam dirinya mengalir ‘darah biru’ seorang pelaut kawakan Aceh, Teuku Nyak Puteh Teuku Karim.
***



Teuku Zakaria bin Teuku Nyak Puteh atau lebih populer P. Ramlee (seniman) dilahirkan pada hari Rabu 22 Maret 1929 (lahir waktu pagi hari lebaran-red) di Pulau Pinang, Malaysia. Bapaknya, Teuku Nyak Puteh adalah seorang ahli pelayaran yang berasal dari Lhokseumawe. Ibunya bernama Che Mah Hussin berasal dari Kubang Buaya, Butterworth, Malaysia. Penggunaan inisial "P" pada awal namanya diambil dari nama bapaknya Puteh, ketika ia mengikuti lomba menyanyi di Pulau Pinang pada tahun 1947. Sejak saat itu, inisial "P" terus melekat pada namanya hingga akhir hayat. Bakat P. Ramlee di bidang seni, khususnya seni peran dan seni suara sudah ada pada dirinya sejak ia masih kecil.


Ayah P. Ramlee, Teuku Nyak Puteh Teuku Karim yang berasal dari Lhokseumawe ini merupakan seorang pelaut kawakan Aceh yang merantau ke Malaysia dan menetap di Pulau Penang. Hingga pada tahun 1925, di Kubang Buaya, Butterwort, Malaysia, pelaut Aceh yang gagah perkasa itu menikahi Che Mah Hussein, dara jelita yang bermukim di Kubang Buaya, Butterwort (tempat penyeberangan ferry ke Pulau Penang dari Kedah Darulaman, Malaysia-red).

Pencipta dan pelantun lagu berirama rancak ini menjadi yatim setelah sang ayah, Teuku Nyak Puteh meninggal dunia pada tahun 1955 dan menjadi piatu 12 tahun kemudian sang bunda, Che Mah Hussein juga menyusul sang ayah, setelah sebelumnya ‘menghadiahkan’ P. Ramlee seorang adik tiri (lain ayah dan seibu) yang bernama Syeikh Ali.

Lima tahun sebelum ayahnya meninggal, pelakon film Pendekar Bujang Lapok ini menikahi Junaidah Daeng Harris yang juga berdarah Aceh pada tahun 1950. Dari buah perkawinannya yang hanya berusia 4 tahun itu, pria berkulit hitam manis dan perokok berat ini dianugerahkan dua orang putra yaitu Mohd. Nasir P. Ramlee dan Arfan P. Ramlee kedua putranya itu terpaut usia satu tahun (Mohd. Nasir lahir 1953, Arfan lahir pada tahun 1954).

Pria penyayang ini mempunyai 10 orang anak, 2 orang anak kandung (dari perkawinannya dengan Junaidah), 3 orang anak tiri dari 3 istrinya yaitu Junaidah, Noorizan, dan Saloma, serta 4 orang anak angkat. Delapan orang anaknya yang lain selain Mohd. Nasir dan Arfan yaitu Sazali, Abdul Rahman, Norma, Armali, Betty, Zakiah, Sabaruddin dan Dian.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh P. Ramlee dimulai dari Sekolah Melayu Kampung Jawa, kemudian meneruskan ke sekolah Francis Light sampai kelas lima. Setelah itu ia melanjutkan pendidikan ke Penang Free School hingga kelas tujuh. Selain itu, pada masa pendudukan Jepang, ia juga pernah masuk di sekolah Kaigun (sekolah tentara laut Jepang).

Kecintaan P. Ramlee pada seni musik dan seni suara (penyanyi) mendorongnya untuk giat belajar musik. Berawal dari bermain ukelele, kemudian ia beralih belajar gitar dan biola pada Encik Kamaruddin (pemimpin Brass Band di Penang Free School). Kemudian, untuk mengembangkan bakatnya, ia bergabung dalam orkes Teruna Bintang dan Sinaran Bintang Sore. Sejak itu, ia sering memenangi berbagai lomba tarik suara, di antaranya Juara III (1945) dan Juara II sekaligus terpilih sebagai Bintang Penyanyi Utama Malaya (1947) dalam lomba tarik suara yang diselenggarakan oleh Radio Pulau Pinang

Keterlibatan P. Ramlee dalam seni peran berawal, ketika ia diundang untuk memeriahkan sebuah Pesta Pertanian Ria di Bukit Mertajam pada tanggal 1 Juni 1948. Dalam pesta itu, ia menyanyikan sebuah lagu ciptaannya sendiri berjudul Azizah. B.S. Rajhans, seorang pengarah film dari Shaw Brothers Singapura juga hadir dalam acara tersebut, dan kebetulan sedang mencari penyanyi berbakat. Setelah mendengar lagu persembahan P. Ramlee, Rajhans menawarkan padanya untuk menjadi penyanyi latar dalam film-film yang akan diarahkannya. Kemudian, pada tanggal 8 Agustus 1948, P. Ramlee pun berangkat ke Singapura dengan menumpang kereta api. Di Singapura, ia belajar dan mengembangkan bakatnya di bidang seni peran dan seni suara di Studio Malay Film Productions.

Karena kecintaannya dalam dunia film, P. Ramlee mampu melakukan berbagai macam pekerjaan maupun peran. Ia pernah menjadi clepper boy, pembantu jurukamera, menjaga continuity, dan sebagai penyanyi latar. Khusus dalam seni peran, ia mampu memerankan berbagai watak (karakter) misalnya, dalam film pertamanya yang berjudul Cinta, memerankan karakter penjahat (1948); dalam film Nur Asmara dan Nasib bersama D. Harris memerankan karakter lucu (komedi); dan dalam film Bakti memerankan karakter hero (pahlawan). Selain itu, ia adalah bintang film pertama yang bisa menyanyi tanpa menggunakan penyanyi latar.

Sejak tahun 1948 hingga 1955, keaktoran P. Ramlee di dunia perfilman terus berkembang dan telah membintangi 27 buah judul film. Datuk L. Krishnan (pengarah/sutradara film Melayu terkenal pada tahun 50-an dan 60-an) adalah salah seorang guru P. Ramlee yang senantiasa memberikan motivasi agar selalu belajar berakting. Selain Krishnan, ia juga banyak dipengaruhi oleh karya sutradara-sutradara asing, seperti Akira Kurosawa dari Jepang dan Satyajit Rai dari India. Sementara gaya lakon (akting) P. Ramlee banyak terinspirasi dari dua aktor terkenal India Selatan, yaitu MGR dan Sivaji Ganesan. Kepiawaiannya dalam berakting juga banyak dipengaruhi teman mainnya sesama aktor handal, seperti Nordin Ahmad, Saadiah, A.Rahim, Daeng Idris, Normadiah dan lain-lain.



Setelah membintangi film terakhirnya yang berjudul Hang Tuah tahun 1955, P. Ramlee beralih menjadi pengarah atau sutradara film. Film pertama yang disutradarai berjudul Penarik Becak (1955), dan setahun kemudian (1956), ia menyutradarai lagi filmnya yang kedua berjudul Semerah Padi. Film-film arahannya tersebut senantiasa menuai sukses, disamping karena teknik pengambilan gambar (trick-short) dan drama yang baik, juga karena penuh dengan unsur-unsur budaya dan agama. Selain itu, P. Ramlee juga telah melakukan berbagai pembaharuan, baik dari segi teknik, arahan, maupun seni aktingnya.

Setelah sukses membintangi dan mengarah beberapa film di Singapura, P. Ramlee pindah ke Kuala Lumpur, Malaysia, untuk bekerja di Studio Merdeka di Ulu Kelang. Selama 9 tahun di studio tersebut, ia berhasil mengeluarkan 18 buah film, menciptakan serta menyanyikan lagu-lagu dalam film sebanyak 60 buah. Dalam proses penciptaan lagu, ia banyak dibantu oleh rekan-rekannya, seperti S. Sudarji, Jamil Sulong, H. M. Rohizad, Ainol dan sebagainya. Tidak diketahui secara tepat, berapa jumlah lagu yang telah diciptakannya, yang pasti dikenali masyarakat seniman kira-kira berjumlah 250 buah.

Selain sebagai aktor dan pengarah film, P. Ramlee juga aktif dalam berbagai bidang organisasi, di antaranya Persatuan Artis-artis Malaya (PERSAMA), Kumpulan Musik PANCA SITARA, Pasukan Badminton (SEKAWAN BINTANG), dan Sepak Takraw (SANGGA BUANA). Disamping itu, ia juga pernah mengadu nasib di bidang perdagangan dengan menerbitkan majalah hiburan Bintang dan majalah Gelanggang Films. Bersama rekan-rekannya, ia pernah mendirikan dua buah perkumpulan film, yaitu Perusahaan Film Malaysia (PERFIMA) dan SAZARA Film Company. P. Ramlee juga sering diundang dalam forum-forum penting, di antaranya dalam Kongres Bahasa dan Persuratan Melayu Ketiga di Singapura dan di Johor Bahru (1956), dan Kongres Kebudayaan Kebangsaan di Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1971). Semasa hidupnya, ia pernah berkunjung ke beberapa negara, di antaranya Indonesia, Hong Kong, Manila dan Tokyo. Film terakhir yang dibintangi sebelum ia menghembuskan nafas terakhir berjudul Laksamana Do Re Mi tahun 1972, sedangkan lagu dan lirik terakhirnya berjudul Ayer Mata di Kuala Lumpur pada tahun 1973.

P. Ramlee meninggal dunia pada tanggal 29 Mei 1973 dalam usia 44 tahun, akibat serangan jantung. Jenazahnya dimakamkan di Tanah Perkuburan Islam, Jalan Ampang Kuala Lumpur, Malaysia. Ia meninggalkan sebuah rumah yang berada di jalan Depap yang telah dijadikan Pustaka Peringatan P.Ramlee pada tahun 1986. Selain itu, namanya telah diabadikan sebagai nama jalan di Pusat Bandar Raya Kuala Lumpur menjadi Jalan P. Ramlee (yang dulunya bernama Jalan Parry) pada tahun 1982. Sepanjang hidupnya, ia telah tiga kali menikah, yaitu Junaidah anak pelawak D. Harris (istri pertama, 1948), Norizan bekas isteri Sultan Perak (istri kedua, 1955), dan Salmah Ismail atau Saloma (istri ketiga, 1961).

Karya-karya

Sebagai seniman film dan musik, P.Ramlee telah melahirkan banyak karya film dan lagu, di antaranya:
Film-film yang dibintangi P. Ramlee:
1. Abu Hassan Penchuri (1955)
2. Ahmad Albab (1968)
3. Ali Baba Bujang Lapok (1961)
4. Aloha (1950)
5. Anak Bapak (1968)
6. Anak-ku Sazali (1956)
7. Anjoran Nasib (1952)
8. Antara Dua Darjat (1960)
9. Antara Senyum Dan Tangis (1952)
10. Bakti (1950)
11. Bujang Lapok (1957)
12. Bukan Salah Ibu Mengandung (1969)
13. Chinta, film pertama (1948)
14. Dajal Suchi (1965)
15. Di Belakang Tabir (1969)
16. Do Re Mi (1966)
17. Doktor Rushdi (1970)
18. Enam Jahanam (1969)
19. Gelora (1970)
20. Gerimis (1968)
21. Hang Tuah (1956)
22. Hujan Panas (1953)
23. Ibu / Mother (1953)
24. Ibu Mertua Ku (1962)
25. Jangan Tinggal Daku (1971)
26. Juwita (1951)
27. Kanchan Tirana (1969)
28. Keluarga 69 (1967)
29. Labu Dan Labi (1962)
30. Laksemana Do Re Mi, film terakhir (1972)
31. Love Parade (1963)
32. Madu Tiga (1964)
33. Masam Masam Manis (1965)
34. Melanchong Ke Tokyo (1964)
35. Merana (1954)
36. Miskin (1952)
37. Musang Berjanggut (1959)
38. Nasib (1949)
39. Nasib Do Re Mi (1966)
40. Nasib Si Labu Labi (1963)
41. Nilam (1949)
42. Noor Asmara (1949)
43. Nujum Pak Belalang (1959)
44. Pancha Delima (1957)
45. Panggilan Pulau (1954)
46. Patah Hati (1952)
47. Penarek Becha (1955)
48. Pendekar Bujang Lapok (1959)
49. Penghidupan (1951)
50. Perjodohan (1954)
51. Putus Harapan (1953)
52. Putus Sudah Kaseh Sayang (1971)
53. Rachun Dunia (1950)
54. Ragam P Ramlee & Damaq (1964)
55. Sabarudin Tukang Kasut (1966)
56. Se Merah Padi (1956)
57. Sedarah (1952)
58. Sejoli (1951)
59. Seniman Bujang Lapok (1961)
60. Sergeant Hassan (1958)
61. Sesudah Suboh (1967)
62. Siapa Salah (1953)
63. Sitora Harimau Jadian (1964)
64. Sumpah Orang Minyak (1958)
65. Takdir Illahi (1950)
66. Tiga Abdul (1964)
Lagu-lagu P. Ramlee bersama Saloma:
1. Aci Aci Buka Pintu
2. Aduh Sayang
3. Aduhai Sayang
4. Ahmad Albab
5. Ai Ai Twist
6. Aku Bermimpi
7. Aku Debuk
8. Aku Menangis
9. Aku Tak Berdaya
10. Aku Terpesona
11. Ala Payong
12. Alam
13. Alam Di Tiup Bayu
14. Alam Maya
15. Alangkah Indah Di Waktu Pagi
16. Alhamdulillah
17. Ali Baba Rock
18. Alunan Biola
19. Anak-ku Sazali
20. Aneka Ragam
21. Angin Malam
22. Apa Guna Berjanji
23. Apabila Kau Tersenyum
24. Apek Dan Marjina
25. Asmara Bergelora
26. Asmara Datang Bersama Sang Bulan
27. Asmara Murni
28. Assalamualaikum
29. Awan Mendung Telah Tiba
30. Awas-awas Jangan Tertawan
31. Ayam Ayam
32. Ayer Mata
33. Ayer Mata Di Kuala Lumpur
34. Azizah
35. Bahagia
36. Bahtera Karam
37. Baidah
38. Barang Yang Lepas Jangan Di Kenang
39. Bawah Rumpunan Bambu
40. Bayangan Wajahmu
41. Beginilah Nasib
42. Belantara
43. Berdendang Ria
44. Berhati Lara
45. Berkorban Apa Saja
46. Bermandi-manda
47. Berpedati
48. Bersama
49. Bertamasha
50. Betapa Riangnya
51. Biarlah Aku Pergi
52. Bila
53. Bila Mama Pakai Chelana
54. Bila Tiba Masa
55. Bintang Hati
56. Bintang Sore
57. Bubor Sagu
58. Budi Dibawa Mati
59. Bujang Merempat
60. Bulan Dan Juga Angin
61. Bulan Jatuh Ke Riba
62. Bulan Mengambang
63. Bumiku Ini
64. Bunga Mekar
65. Bunga Melor
66. Bunyi Gitar
67. Burung Pungok
68. Chemara Jingga
69. Chemburu
70. Chinta
71. Chinta Abadi
72. Choraknya Dunia
73. Cik Cik Keboom
74. Dalam Air Terbayang Wajah
75. Dari Hati Ke Hati
76. Dari Masa Hingga Masa
77. Debaran Jiwa
78. Dendang Perantau
79. Dengar Ini Cherita
80. Dengarlah Kemala Hati
81. Dengarlah Rayuanku
82. Dengarlah Sang Ombak Berdesir
83. Derita
84. Dewi Ilhamku
85. Dewi Puspitaku
86. Di Bibir Mu Terlukis Kata
87. Di Mana Kan Ku Chari Ganti
88. Di Mana Suara Burong Kenari
89. Di Pinggiran
90. Di Pulau
91. Dia Dan Aku
92. Di Renjis-renjis Di Pilis
93. Di Telan Pahit Di Buang Sayang
94. Do Re Mi
95. Duka Berganti Suka
96. Dunia Hanya Pinjaman
97. Dunia Ini Hanya Palsu
98. Embun Menitik
99. Engkau Laksana Bulan
100. Enjit Enjit Semut
101. Dll.
4. Penghargaan
Atas karya dan jasa-jasanya bagi dunia seni, P. Ramlee telah menerima sejumlah penghargaan, di antaranya:
1. Aktor Pria Terbaik, dalam film Anak-ku Sazali pada Festival Film Asia ke-4 di Tokyo (tahun 1957)
2. Award Fotografi Hitam Putih Terbaik pada Festival Film Asia.
3. Gelar Sargeant Titular dari Askar Melayu.
4. Film Komedi Terbaik, dalam film Bujang Lapuk pada http://www.blogger.com/img/blank.gifFestival Film Asia di Kuala Lumpur (tahun 1959).
5. Film Komedi Terbaik, dalam Film Nujum Pak Belalang pada Festival Film Asia ke-7 di Tokyo (tahun 1960).
6. Bintang Ahli Mangku Negara (AMN) dari DYMM Seri Paduka Baginda di Pertuan Agung Ketiga di Malaysia (tahun 1962).
7. Award Khas The Most Versatile Talent, dalam film Ibu Mertua Ku pada Festival Film Asia ke-10 di Tokyo (tahun 1963).
8. Film Komedi Terbaik, dalam film Madu Tiga pada Festival Film Asia ke-11 di Taipei (tahun 1964).
9. Pengubah Lagu Terbaik Se Asia pada Festival Film Asia di Hong Kong (1956).
10. Bintang Kebesaran Darjah Panglima Setia Mahkota dengan gelar Tan Sri dari Seri Paduka Baginda Yang di Pertuan Agung di Malaysia (tahun 1990).
Sumber : Atjeh Cyber Warrior
MOU HELSINKI

MOU HELSINKI


MEMORANDUM OF UNDERSTANDING
BETWEEN
THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA
AND
THE FREE ACEH MOVEMENT

The Government of Indonesia (GoI) and the Free Aceh Movement (GAM) confirm their
commitment to a peaceful, comprehensive and sustainable solution to the conflict in Aceh with dignity for all.

The parties commit themselves to creating conditions within which the government of the
Acehnese people can be manifested through a fair and democratic process within the unitary state and constitution of the Republic of Indonesia.

The parties are deeply convinced that only the peaceful settlement of the conflict will enable
the rebuilding of Aceh after the tsunami disaster on 26 December 2004 to progress and succeed.

The parties to the conflict commit themselves to building mutual confidence and trust.

This Memorandum of Understanding (MoU) details the agreement and the principles that will guide the transformation process.

To this end the GoI and GAM have agreed on the following:


1. GOVERNING OF ACEH

1.1 Law on the Governing of Aceh

1.1.1 A new Law on the Governing of Aceh will be promulgated and will enter into force as
soon as possible and not later than 31 March 2006.

1.1.2 The new Law on the Governing of Aceh will be based on the following principles:

a). Aceh will exercise authority within all sectors of public affairs, which will
be administered in conjunction with its civil and judicial administration,
except in the fields of foreign affairs, external defence, national security,
monetary and fiscal matters, justice and freedom of religion, the policies of which belong to the Government of the Republic of Indonesia in conformity with the Constitution.

b). International agreements entered into by the Government of Indonesia which relate to matters of special interest to Aceh will be entered into in consultation with and with the consent of the legislature of Aceh.

c). Decisions with regard to Aceh by the legislature of the Republic of Indonesia
will be taken in consultation with and with the consent of the legislature of Aceh.

d). Administrative measures undertaken by the Government of Indonesia
with regard to Aceh will be implemented in consultation with and with the consent of the head of the Aceh administration.

1.1.3. The name of Aceh and the titles of senior elected officials will be determined by the legislature of Aceh after the next elections.

1.1.4. The borders of Aceh correspond to the borders as of 1 July 1956.

1.1.5. Aceh has the right to use regional symbols including a flag, a crest and a hymn.

1.1.6. Kanun Aceh will be re-established for Aceh respecting the historical traditions
and customs of the people of Aceh and reflecting contemporary legal requirements of Aceh.

1.1.7. The institution of Wali Nanggroe with all its ceremonial attributes and entitlements will be established.



1.2. Political participation

1.2.1. As soon as possible and not later than one year from the signing of this MoU, GoI agrees to and will facilitate the establishment of Aceh-based political parties that meet national criteria. Understanding the aspirations of Acehnese people for local political parties, GoI will create, within one year or at the latest 18 months from the signing of this MoU, the political and legal conditions for the establishment of local political parties in Aceh in consultation with Parliament. The timely implementation of this MoU will contribute positively to this end.

1.2.2. Upon the signature of this MoU, the people of Aceh will have the right to nominate
candidates for the positions of all elected officials to contest the elections in Aceh in April 2006 and thereafter.

1.2.3. Free and fair local elections will be organised under the new Law on the Governing of Aceh to elect the head of the Aceh administration and other elected officials in April 2006 as well as the legislature of Aceh in 2009.

1.2.4. Until 2009 the legislature of Aceh will not be entitled to enact any laws without the consent of the head of the Aceh administration.

1.2.5. All Acehnese residents will be issued new conventional identity cards prior to the elections of April 2006.

1.2.6. Full participation of all Acehnese people in local and national elections will be guaranteed in accordance with the Constitution of the Republic of Indonesia.

1.2.7. Outside monitors will be invited to monitor the elections in Aceh. Local elections may be undertaken with outside technical assistance.

1.2.8.There will be full transparency in campaign funds.



1.3. Economy

1.3.1. Aceh has the right to raise funds with external loans. Aceh has the right to set interest rates beyond that set by the Central Bank of the Republic of Indonesia.

1.3.2. Aceh has the right to set and raise taxes to fund official internal activities. Aceh has
the right to conduct trade and business internally and internationally and to seek foreign direct investment and tourism to Aceh.

1.3.3. Aceh will have jurisdiction over living natural resources in the territorial sea surrounding Aceh.

1.3.4. Aceh is entitled to retain seventy (70) per cent of the revenues from all current and future hydrocarbon deposits and other natural resources in the territory of Aceh as well as in the territorial sea surrounding Aceh.

1.3.5. Aceh conducts the development and administration of all seaports and airports within the territory of Aceh.

1.3.6. Aceh will enjoy free trade with all other parts of the Republic of Indonesia unhindered by taxes, tariffs or other restrictions.

1.3.7. Aceh will enjoy direct and unhindered access to foreign countries, by sea and air.

1.3.8. GoI commits to the transparency of the collection and allocation of revenues between
the Central Government and Aceh by agreeing to outside auditors to verify this activity and to communicate the results to the head of the Aceh administration.

1.3.9. GAM will nominate representatives to participate fully at all levels in the commission established to conduct the post-tsunami reconstruction (BRR).


1.4. Rule of law

1.4.1. The separation of powers between the legislature, the executive and the judiciary will be recognised.

1.4.2. The legislature of Aceh will redraft the legal code for Aceh on the basis of the universal
principles of human rights as provided for in the United Nations International
Covenants on Civil and Political Rights and on Economic, Social and Cultural Rights.

1.4.3 An independent and impartial court system, including a court of appeals, will be
established for Aceh within the judicial system of the Republic of Indonesia.

1.4.4 The appointment of the Chief of the organic police forces and the prosecutors shall
be approved by the head of the Aceh administration. The recruitment and training of organic police forces and prosecutors will take place in consultation with and with the consent of the head of the Aceh administration in compliance with the applicable national standards.

1.4.5 All civilian crimes committed by military personnel in Aceh will be tried in civil courts
in Aceh.


2. HUMAN RIGHTS

2.1. GoI will adhere to the United Nations International Covenants on Civil and Political Rights and on Economic, Social and Cultural Rights.

2.2. A Human Rights Court will be established for Aceh.

2.3. A Commission for Truth and Reconciliation will be established for Aceh by the
Indonesian Commission of Truth and Reconciliation with the task of formulating and determining reconciliation measures.



3. AMNESTY AND REINTEGRATION INTO SOCIETY


3.1. Amnesty


3.1.1 GoI will, in accordance with constitutional procedures, grant amnesty to all persons
who have participated in GAM activities as soon as possible and not later than within 15 days of the signature of this MoU.

3.1.2. Political prisoners and detainees held due to the conflict will be released
unconditionally as soon as possible and not later than within 15 days of the signature of this MoU.

3.1.3. The Head of the Monitoring Mission will decide on disputed cases based on advice from the legal advisor of the Monitoring Mission.


3.1.4 Use of weapons by GAM personnel after the signature of this MoU will be regarded as
a violation of the MoU and will disqualify the person from amnesty.


3.2. Reintegration into society

3.2.1. As citizens of the Republic of Indonesia, all persons having been granted amnesty or released from prison or detention will have all political, economic and social rights as
well as the right to participate freely in the political process both in Aceh and on the national level.

3.2.2. Persons who during the conflict have renounced their citizenship of the Republic of Indonesia will have the right to regain it.


3.2.3. GoI and the authorities of Aceh will take measures to assist persons who have
participated in GAM activities to facilitate their reintegration into the civil society. These measures include economic facilitation to former combatants, pardoned
political prisoners and affected civilians. A Reintegration Fund under the administration of the authorities of Aceh will be established.


3.2.4 GoI will allocate funds for the rehabilitation of public and private property destroyed
or damaged as a consequence of the conflict to be administered by the authorities of Aceh.

3.2.5 GoI will allocate suitable farming land as well as funds to the authorities of Aceh for
the purpose of facilitating the reintegration to society of the former combatants and
the compensation for political prisoners and affected civilians. The authorities of
Aceh will use the land and funds as follows:

a). All former combatants will receive an allocation of suitable farming land,
employment or, in the case of incapacity to work, adequate social security from the authorities of Aceh.

b). All pardoned political prisoners will receive an allocation of suitable
farming land, employment or, in the case of incapacity to work, adequate social security from the authorities of Aceh.

c).All civilians who have suffered a demonstrable loss due to the conflict will
receive an allocation of suitable farming land, employment or, in the case of incapacity to work, adequate social security from the authorities of Aceh.


3.2.6 The authorities of Aceh and GoI will establish a joint Claims Settlement Commission
to deal with unmet claims.

3.2.7 GAM combatants will have the right to seek employment in the organic police and
organic military forces in Aceh without discrimination and in conformity with national standards.


4. SECURITY ARRANGEMENTS

4.1. All acts of violence between the parties will end latest at the time of the signing of this MoU.

4.2. GAM undertakes to demobilise all of its 3000 military troops. GAM members will not
wear uniforms or display military insignia or symbols after the signing of this MoU.

4.3. GAM undertakes the decommissioning of all arms, ammunition and explosives held
by the participants in GAM activities with the assistance of the Aceh Monitoring Mission (AMM). GAM commits to hand over 840 arms.

4.4. The decommissioning of GAM armaments will begin on 15 September 2005 and will be executed in four stages and concluded by 31 December 2005.

4.5. GoI will withdraw all elements of non-organic military and non-organic police forces
from Aceh.

4.6. The relocation of non-organic military and non-organic police forces will begin on 15 September 2005 and will be executed in four stages in parallel with the GAM
decommissioning immediately after each stage has been verified by the AMM, and concluded by 31 December 2005.

4.7. The number of organic military forces to remain in Aceh after the relocation is 14700. The number of organic police forces to remain in Aceh after the relocation is 9100.

4.8. There will be no major movements of military forces after the signing of this MoU. All movements more than a platoon size will require prior notification to the Head of the Monitoring Mission.

4.9. GoI undertakes the decommissioning of all illegal arms, ammunition and explosives held by any possible illegal groups and parties.

4.10. Organic police forces will be responsible for upholding internal law and order in Aceh.

4.11. Military forces will be responsible for upholding external defence of Aceh. In normal peacetime circumstances, only organic military forces will be present in Aceh.

4.12. Members of the Aceh organic police force will receive special training in Aceh and overseas with emphasis on respect for human rights.



5. ESTABLISHMENT OF THE ACEH MONITORING MISSION

5.1. An Aceh Monitoring Mission (AMM) will be established by the European Union and
ASEAN contributing countries with the mandate to monitor the implementation of the commitments taken by the parties in this Memorandum of Understanding.

5.2. The tasks of the AMM are to:

a). monitor the demobilisation of GAM and decommissioning of its armaments,
b). monitor the relocation of non-organic military forces and non-organic police
troops,
c). monitor the reintegration of active GAM members,
d). monitor the human rights situation and provide assistance in this field,
e). monitor the process of legislation change,
f). rule on disputed amnesty cases,
g). investigate and rule on complaints and alleged violations of the MoU,
h). establish and maintain liaison and good cooperation with the parties.


5.3. A Status of Mission Agreement (SoMA) between GoI and the European Union will be
signed after this MoU has been signed. The SoMA defines the status, privileges and
immunities of the AMM and its members. ASEAN contributing countries which have
been invited by GoI will confirm in writing their acceptance of and compliance with the SoMA.

5.4. GoI will give all its support for the carrying out of the mandate of the AMM. To this
end, GoI will write a letter to the European Union and ASEAN contributing countries expressing its commitment and support to the AMM.


5.5. GAM will give all its support for the carrying out of the mandate of the AMM. To this
end, GAM will write a letter to the European Union and ASEAN contributing countries expressing its commitment and support to the AMM.

5.6. The parties commit themselves to provide AMM with secure, safe and stable working conditions and pledge their full cooperation with the AMM.

5.7. Monitors will have unrestricted freedom of movement in Aceh. Only those tasks which are within the provisions of the MoU will be accepted by the AMM. Parties do not have a veto over the actions or control of the AMM operations.

5.8. GoI is responsible for the security of all AMM personnel in Indonesia. The mission
personnel do not carry arms. The Head of Monitoring Mission may however decide on
an exceptional basis that a patrol will not be escorted by GoI security forces. In that case, GoI will be informed and the GoI will not assume responsibility for the security of this patrol.

5.9. GoI will provide weapons collection points and support mobile weapons collection teams in collaboration with GAM.

5.10. Immediate destruction will be carried out after the collection of weapons and
ammunitions. This process will be fully documented and publicised as appropriate.

5.11. AMM reports to the Head of Monitoring Mission who will provide regular reports to
the parties and to others as required, as well as to a designated person or office in the European Union and ASEAN contributing countries.

5.12. Upon signature of this MoU each party will appoint a senior representative to deal
with all matters related to the implementation of this MoU with the Head of Monitoring Mission.


5.13. The parties commit themselves to a notification responsibility procedure to the AMM, Including military and reconstruction issues.

5.14. GoI will authorise appropriate measures regarding emergency medical service and hospitalisation for AMM personnel.

5.15. In order to facilitate transparency, GoI will allow full access for the representatives of national and international media to Aceh.


6 DISPUTE SETTLEMENT

6.1 In the event of disputes regarding the implementation of this MoU, these will be
resolved promptly as follows:

a). As a rule, eventual disputes concerning the implementation of this MoU will be resolved by the Head of Monitoring Mission, in dialogue with the parties,
with all parties providing required information immediately. The Head of
Monitoring Mission will make a ruling which will be binding on the parties.

b).If the Head of Monitoring Mission concludes that a dispute cannot be resolved
by the means described above, the dispute will be discussed together by the Head of Monitoring Mission with the senior representative of each party.
Following this, the Head of Monitoring Mission will make a ruling which will be binding on the parties.

c). In cases where disputes cannot be resolved by either of the means described above, the Head of Monitoring Mission will report directly to the Coordinating
Minister for Political, Law and Security Affairs of the Republic of Indonesia,
the political leadership of GAM and the Chairman of the Board of Directors of
the Crisis Management Initiative, with the EU Political and Security Committee
informed. After consultation with the parties, the Chairman of the Board of
Directors of the Crisis Management Initiative will make a ruling which will be binding on the parties.

******************************


GoI and GAM will not undertake any action inconsistent with the letter or spirit of this Memorandum of Understanding.

******************************

Signed in triplicate in Helsinki, Finland on the 15 of August in the year 2005.


On behalf of the Government of the Republic of Indonesia, On behalf of the Free Aceh Movement,


Hamid Awaludin
Minister of Law and Human Rights

Malik Mahmud
Leadership


As witnessed by

Martti Ahtisaari
Former President of Finland
Chairman of the Board of Directors of the Crisis Management Initiative
Facilitator of the negotiation process

Source : Aceh Monitoring Mission (AMM)