Tradisi makan sirih merupakan warisan budaya masa silam, lebih dari 3000 tahun yang lampau atau di zaman Neolitik, hingga saat ini.
Budaya makan sirih hidup di Asia Tenggara. Pendukung budaya ini terdiri dari pelbagai golongan, meliputi masyarakat bawah, pembesar negara, serta kalangan istana. Tradisi makan sirih tidak diketahui secara pasti dari mana berasal. Dari cerita-cerita sastra, dikatakan tradisi ini berasal dari India.
Tetapi jika ditelusur berdasarkan bukti linguistik, kemungkinan besar tradisi makan sirih berasal dari Nusantara. Pelaut terkenal Marco Polo menulis dalam catatannya di abad ke-13, bahwa orang India suka mengunyah segumpal tembakau. Sementara itu penjelajah terdahulu seperti Ibnu Batutah dan Vasco de Gama menyatakan bahwa masyarakat Timur memiliki kebiasaan memakan sirih.
Di masyarakat India, sirih pada mulanya bukan untuk dimakan, tetapi sebagai persembahan kepada para dewa sewaktu sembahyang di kuil-kuil. Beberapa helai daun sirih dihidangkan bersama dengan kelapa yang telah dibelah dua dan dua buah pisang emas.
Pada saat ini sirih sangat dikenal di kalangan masyarakat Melayu. Selain dimakan oleh rakyat kebanyakan, sirih juga dikenal sebagai simbol budaya dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam adat istiadat Melayu. Sirih dipakai dalam upacara menyambut tamu, upacara merisik dan meminang, upacara pernikahan, pengobatan tradisional, dan berbagai upacara adat yang lain. Dalam upacara pernikahan, sirih dirangkai dalam bentuk sirih junjung yang cantik, dan bersama dengan sirih penyeri dipakai sebagai barang hantaran kepada pengantin perempuan. Di dalam upacara resmi kebesaran istana, sirih junjung dipakai sebagai hiasan yang menyemarakkan suasana. Sirih junjung juga dibawa sebagai kepala suatu arak-arakan adat.
Sirih Aceh
Daun sirih di Aceh dinamakan Ranub. Ranub memainkan peranan penting dalam kehidupan orang Aceh. Ranub yang telah dibubuhi kapur, irisan pinang, dan gambir kemudian dikunyah sebagai makanan pelengkap.
Prosesi penyiapannya dari memetik daun sampai dengan menyajikannya divisualisasikan menjadi sebuah gerakan tari yang sangat dinamis dan artistik. Gerakan inilah yang akhirnya menjadi tarian tradisional asal Aceh yang dinamakan Tari Ranub Lampuan. Menyajikan ranub kepada tamu dalam tradisi Aceh adalah sebuah ungkapan rasa hormat.
Namun kita tidak pernah memperhatikan dengan seksama apa yang ada di balik semua aktifitas yang berkaitan dengan ranub. Ranub bagi masyarakat Aceh tidak hanya sekedar tumbuhan yang memiliki manfaat secara fisik semata. Namun di balik itu ada berbagai penafsiran poli-interpretasi, karena di dalam memahaminya ranub menjadi simbol yang multi rupa.
Pemaknaannya secara sosial dan kultural digunakan dalam banyak cara dan berbagai aktivitas. Ranub dengan segala perlengkapannya memainkan peranan penting pada masa kesultanan Aceh, dalam upacara-upacara kebesaran sultan.
Selain itu dalam perkembangannya, ranub juga menempati peranan yang cukup penting dalam sistem daur hidup (life cycle) masyarakat Aceh. Jika ada acara-acara resmi, seperti pernikahan, hajatan sunat, bahkan di acara penguburan mayat sekalipun, ranub seolah menjadi makanan wajib. Sehingga ada anggapan, adat dan ranub menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan di Aceh.
Dari masa sebelum melahirkan yakni ketika usia kehamilan mencapai tujuh atau delapan bulan, mertua sudah mengusahakan seorang bidan untuk menyambut kelahiran bayi. Pihak mertua dan ibunya sendiri biasanya mempersiapkan juga hadiah yang akan diberikan kepada bidan pada saat mengantar nasi sebagai tanda persetujuan.
Tanda ini disebut dengan peunulang, artinya hidup atau mati orang ini diserahkan kepada bidan. Setelah menerima peunulang, ada kewajiban bagi bidan untuk menjenguk setiap saat. Bahkan kadang-kadang ada yang menetap sampai sang bayi lahir. Biasanya hadiah yang diberikan kepada bidan antara lain seperti, ranub setepak (bahan-bahan ranub), pakaian sesalin (biasanya satu stel), dan uang ala kadarnya.
Pada saat bayi lahir, diadakan pemotongan tali pusar dengan sebilah sembilu, kemudian diobati dengan obat tradisional seperti dengan arang, kunyit, dan air ludah ranub. Upacara yang berkaitan dengan daur hidup lainnya yang didalamnya menggunakan ranub sebagai salah satu medianya adalah upacara antar mengaji.
Upacara perkawinan dalam masyarakat Aceh juga mempergunakan ranub dalam rangkaian upacaranya. Setelah seulangke mendapat kabar dari ayah si gadis, lalu menyampaikan kabar suka cita kepada keluarga pemuda, ditentukan waktu atau hari apa mengantar ranub kong haba, artinya ranub penguat kata atau perjanjian kawin (bertunangan).
Kemudian keluarga si pemuda mengumpulkan orang-orang patut dalam kampung kemudian memberi tahu maksud bahwa dimintakan kepada orang-orang yang patut tersebut untuk pergi ke rumah ayah si gadis untuk meminang si gadis dan bila dikabulkan terus diserahkan ranub kong haba atau tanda pertunangan dengan menentukan sekaligus berapa mas kawinnya (jiname/jeulamee).
Dalam hubungan sosial masyarakat Aceh, ranub juga memiliki fungsi dan peranan penting antara lain untuk penghormatan kepada tamu. Sekaligus untuk menjalin keakraban dan perasaan solidaritas kelompok, maupun sebagai media untuk meredam/menyelesaikan konflik serta menjaga harmoni sosial.
Menjadi Simbol
Berkaitan dengan adat menyuguhkan ranub tersebut, ranub dapat diartikan sebagai simbol kerendahan hati dan sengaja memuliakan tamu atau orang lain walaupun dia sendiri adalah seorang yang pemberani dan peramah.
Sebentuk daun sirih (sebagai aspek ikonik) dalam kaitan ini dapat dirujuk pada aspek indeksikalnya adalah sifat rasa yang pedar dan pedas. Simbolik yang terkandung di dalamnya adalah sifat rendah hati dan pemberani. Ranub juga dianggap memiliki makna sebagai sumber perdamaian dan kehangatan sosial. Hal ini tergambar ketika berlangsung musyawarah untuk menyelesaikan persengketaan, upacara perdamaian, upacara peusijuek, meu-uroh, dan upacara lainnya ranub hadir ditengah-tengahnya.
Semua bentuk upacara itu selalu diawali dengan menyuguhkan ranub sebelum upacara tersebut dimulai. Dalam etika sosial masyarakat Aceh, tamu (jamee) harus selalu dilayani dan dihormati secara istimewa.
Hal ini terjadi karena seluruh segi kehidupan masyarakat Aceh telah dipengaruhi oleh ajaran Islam yang dibakukan dalam adat dan istiadat.
Sementara Bate Ranub (puan) yang menjadi wadahnya melambangkan keindahan budi pekerti dan akhlak yang luhur. Wadah tersebut sebagai satu kesatuan yang melambangkan sifat keadatan.
Maka ke depan modifikasi kemasan ranub ini perlu diperhatikan, bagaimana anak-anak Aceh tidak asing dengan budayanya dari pemakan ranub kini menjadi pengkomsumsi narkoba dan produk-produk luar untuk pencitraan modern, meskipun di tempat asalnya makanan itu sudah dianggap sebagai makanan jalanan atau makanan sampah (junk food).