Fokus Aceh ~ Ketika wisatawan Amerika, Mollie Hightower dan suaminya Brian Hubler datang ke Pulau Weh untuk menyelam dan ber-snorkeling , dia agak khawatir memakai bikini di wilayah di mana perempuan Muslim diwajibkan memakai jilbab dan pakaian panjang, setiap waktu.
Ia mengatakan, “Sebelum saya memakai pakaian renang, saya bertanya dan memastikan bahwa dibolehkan mondar mandir dengan bikini di pantai ini dan mereka mengatakan boleh saja di daerah resor (hotel).”
Hubler mengatakan rasanya aneh melihat perempuan berjilbab dan berpakaian yang menutup seluruh tubuh berada di pantai dengan iklim tropis seperti ini.
“Yang paling menyolok-dan ini mungkin diluar jangkauan hukum Syariah, tapi di negara Islam secara umum, banyaknya pakaian yang harus dipakai perempuan dalam cuaca yang sangat panas dan lembab rasanya mengherankan, ” ujar Hubler.
Parawisata di Sabang yang juga dikenal sebagai Pulau Weh terus tumbuh sejak perjanjian damai ditandatangani pemerintah Indonesia dan pemberontak lokal-yang mengakhiri konflik 30 tahun di Propinsi Aceh.
Pulau ini hanya bisa dijangkau dengan feri. Tetapi lokasinya yang jauh maupun pelaksanaan hukum Syariah di Aceh tidak mengurungkan kedatangan wisatawan.
Salah seorang pemimpin industri parawisata Sabang adalah pemilik hotel Freddie Rousseau. Mantan staf PBB itu pertama kali datang ke Aceh sebagai bagian upaya kemanusiaan menyusul tsunami tahun 2004.
Dalam setahun terakhir, hotelnya, Santai Sumur Tiga, beroperasi dengan tingkat hunian 80 persen dan sejumlah hotel baru lainnya sedang dibangun.
Rousseau mengatakan hotel-hotel tersebut telah membantu perekonomian lokal lewat pembelian makanan dan bahan-bahan dan menciptakan lapangan kerja. Pejabat-pejabat lokal menyuarakan dukungan kuat bagi parawisata sebagai bagian penting pembangunan pulau tersebut. Dukungan ini termasuk membebaskan pengunjung Barat yang berada di hotel dari peraturan Syariah seperti larangan minum alkohol.
Rousseau mengatakan, “Meskipun menurut hukum Syariah minuman beralkohol dilarang, fakta bahwa saya hanya menjual minuman beralkohol kepada pengunjung internasional atau warga non Muslim membuat masyarakat juga menghargai aspek tersebut.”
Meskipun warga asing tidak terikat aturan berpakaian tersebut di Aceh secara umum, memakai pakaian renang yang minim dan pakaian terbuka lainnya tidak disukai di Aceh, satu-satunya propinsi di Indonesia yang memberlakukan hukum Syariah.
Rousseau mengatakan pembebasan aturan bagi parawisata tidak berlaku bagi hukum lainnya. Misalnya, ia memberi jaminan kepada pemerintah bahwa ia tidak akan mengijinkan pasangan yang tidak menikah tidur bersama.
Walikota Sabang, Munawar Liza Zainal mengatakan tidak ada konflik antara parawisata dan Islam sepanjang wisatawan menghargai budaya setempat yang berarti, berpakaian yang pantas saat mengunjungi perkampungan dan tidak mengadakan pesta yang bising.
Ia mengatakan minum dan berpesta yang bisa membuat masyarakat marah, tidaklah perlu. Tetapi kalau hanya untuk minum-minum biasa, menurutnya, orang Muslim tidak boleh melarang warga non Muslim melakukannya.
Zainal juga mengatakan penduduk Muslim lokal cukup berpendidikan dan memiliki moral yang kuat untuk melawan godaan-godaan.
Rousseau mengatakan menjaga agar Sabang menjadi tempat yang tenang, aman dan bersih sebagai alternatif dari Bali yang sangat padat sebagai tempat wisata utama Indonesia—adalah juga kepentingan industri parawisata.
“Kita tidak ingin Sabang menjadi Bali ke-2. Kita ingin agar tempat ini tetap bersih dimana orang bisa datang dan tinggal tanpa gangguan. Tanpa kemacetan tanpa polusi, ” ujar Rousseau.
Rousseau mengatakan parawisata internasional bisa terus tumbuh di Sabang meskipun ada hukum Syariah-asalkan tetap di wilayah pribadi dan budaya lokal tetap utuh. (voaindonesia.com)
dari : http://seputaraceh.com/read/13342/2012/11/17/sabang-surga-pariwisata-yang-masih-terpendam
0 komentar: