Tragedi Simpang KKA Aceh |
Tanggal 3 Mei punya banyak makna bagi warga Aceh Utara, dan juga
bagi masyarakat Aceh pada umumnya. Tanggal tersebut selain bermakna resistensi
atau perlawanan rakyat melawan negara, juga sebuah kenangan buruk, betapa
negara begitu semena-mena terhadap rakyatnya.
Karenanya, saban tahun masyarakat Aceh khususnya yang bermukim di daerah Simpang KKA
Gampong Paloh Lada, Dewantara, Aceh Utara memperingati sekaligus mengenang
terjadinya peristiwa berdarah yang sering disebut dengan tragedi berdarah
Simpang KKA.
Ini adalah
peristiwa penembakan secara brutal oleh aparat TNI pada tahun 1999 yang
mengakibatkan puluhan korban rakyat biasa tewas dan puluhan lainnya luka-luka.
Peristiwa itu
terjadi pada Senin, 3 Mei 1999 pukul 12.30 WIB. Pasukan TNI dari kesatuan Den
Rudal 001/Pulo Rungkom dan Yonif 113 Aceh Utara terlibat bentrok dengan warga
di Kawasan Simpang Jalan KKA, Krueng Geukuh Aceh Utara. Awalnya TNI menuduh ada
seorang anggota Den Rudal yang hilang pada Jumat malam 30 April 1999, bersamaan
dengan dakwah Islamiyah menyambut 1 Muharram.
SEKEDAR merawat ingatan, Senin, 3 Mei 1999 atau tigabelas tahun silam, banyak darah berceceran di sekitar simpang PT KKA. Jeritan dan tangisan para korban memecah telinga siapa saja yang pernah mendengar.
Saat itu, harga peluru tentara begitu murahnya, karena bisa dihambur-hamburkan dengan sangat mudah. Setelah itu, puluhan mayat dan ratusan korban tergelatak, ada yang sudah kaku, banyak juga yang masih bernyawa sambil merintih, yang lainnya berlarian seperti dikejar air tsunami, mencari tempat yang bisa dijadikan tempat berlindung.
Saat itu, harga peluru tentara begitu murahnya, karena bisa dihambur-hamburkan dengan sangat mudah. Setelah itu, puluhan mayat dan ratusan korban tergelatak, ada yang sudah kaku, banyak juga yang masih bernyawa sambil merintih, yang lainnya berlarian seperti dikejar air tsunami, mencari tempat yang bisa dijadikan tempat berlindung.
Saat tragedi itu, korban luka-luka tak terhitung. Hanya data yang dikumpulkan oleh Tim Pencari Fakta (TPF) Aceh Utara menyebutkan 115 orang mengalami luka parah, sementara 40 orang lainnya meninggal dunia. Dari jumlah itu, ada 6 orang masih sangat kanak-kanak, termasuk Saddam Husein (7 tahun) menjadi korban kebuasan aparat negara.
Sementara data yang dikeluarkan Koalisi NGO HAM Aceh, menyebutkan sekitar 46 orangmeninggal (dua orang meninggal ketika menjalani perawatan di RSUZA Banda Aceh), sebanyak 156 mengalami luka tembak, dan 10 orang hilang dalam insiden tersebut.
Meskipun banyak pihak melupakan peristiwa itu, tidak bagi para korban. Jamaluddin, misalnya, sampai sekarang masih terkenang dengan tragedi paling kejam dalam hidupnya. Jamal, kelahiran Sawang, Aceh Utara mengisahkan, bahwa saat peristiwa itu terjadi, dirinya melihat banyak sekali korban tembakan yang rubuh. Jamal juga mendengar jeritan tangis dari para ibu dan bapak yang melihat warga tertembak.
Jamal sendiri mengaku, saat tragedi itu, tubuh-tubuh warga yang kena tembakan jatuh menindihnya. Dengan sisa tenaga yang ada, mayat-mayat diambil dan diletakkan di tempat yang layak. Jamal mengaku, tak tahu harus berkata apa saat itu. Jamal, sendiri luput dari maut.Jamal berharap Pemerintah Aceh tidak melupakan peristiwa itu. Kalau memang ini pelanggaran HAM, pelakunya harus diadili. Karena itulah keadilan bagi korban.
Kronologi Peristiwa
(Dihimpun dari koalisi NGO HAM Aceh)
Jumat malam, 30 April 1999.
Sekitar jam 20.30 WIB masyarakat Desa Cot Murong, Kecamatan Dewantara, mengadakan rapat akbar untuk memperingati 1 Muharram yang bertepatan dengan 30 April 1999. Oleh pihak keamanan, peringatan 1 Muharram yang biasa diselenggarakan oleh masyarakat Islam di manapun di seluruh Propinsi Aceh, disebut sebagai ceramah Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Lalu muncul kabar bahwa seorang anggota TNI dari kesatuan Den Rudal 001/Pulo Rungkom berpangkat Sersan, bernama Adityawarman, hilang saat melakukan penyusupan di tengah kegiatan ceramah (Keterangan Kapuspen TNI, nama anggotanya yang hilang itu adalah Sersan Kepala Edi, dari Den Rudal 001/Pulo Rungkom, Aceh Utara).
Tidak jelas apakah anggota TNI itu benar hilang atau terjadi berbagai kemungkinan lainnya, tetapi yang pasti tidak satupun dari penduduk yang mengetahui keberadaannya. Dan yang pasti lagi, malam itu tidak terjadi apa-apa yang berarti di Desa Cot Murong.
Sabtu malam, 1 Mei 1999
Sebuah truk militer dari kesatuan Den Rudal 001/Pulo Rungkom berputar-putar dikawasan Desa Cot Murong dengan aktivitas yang tidak jelas, tetapi hari itu tidak terjadi apa-apa.
Minggu pagi, 2 Mei 1999
Mulai pukul 05.00 WIB pasukan Den Rudal
001/Pulo Rungkom mulai melakukan operasi di kawasan Desa Cot Murong.
Pada minggu pagi itu masyarakat sedang
melakukan persiapan pelaksanaan kenduri memberi makan untuk anak-anak yatim
sehubungan dengan pringatan 1 Muharram yang dilaksanakan sejak Jumat malam
sebelumnya. Masyarakat memotong 4 ekor lembu di halaman Masjid Al-Abror, Cot
Murong.
Pada saaat itulah, sekitar jam 11.00 WIB
datang pasukan Den Rudal ke tempat kenduri dan dengan dalih menanyakan
anggotanya yang hilang sehari sebelumnya mulai memuli warga setempat.
Dilaporkan, waktu itu ada tidak kurang 20 orang yang dianiaya oleh anggota TNI
tersebut. Praktek kekerasan dan penganiayaan dengan bertindak kasar, menampar
dan memukuli hingga cedera, telah terjadi.
Ketika sedang melancarkan aksinya,
penduduk sempat mencatat kata-kata yang dikeluarkan para anggota TNI yaitu
"Akan kami tembak semua orang Aceh apabila seorang anggota kami tidak
ditemukan...".
Menyadari kondisi yang mulai mencemaskan
tersebut kemudian para warga dari Desa Murong dan desa-desa tentangga seperti
Desa Lancang Barat, Kecamatan Nisam dan Paloh Lada, yang terdiri dari pemuda,
wanita, orang tua serta anak-anak berkumpul untuk mencegah kemungkinan
penganiayaan lebih lanjut, apalagi aparat militer telah mengeluarkan ancaman
yang cukup menakutkan.
Tiba-tiba, pada pukul 13.00 WIB datang
lagi pasukan tambahan yang terdiri dari 7 truk anggota TNI ke lokasi kenduri.
Melihat itu, masyarakat yang telah berkumpul dari berbagai penjuru Kecamatan
mencoba menghadang.
Tepat pukul 14.00 WIB terjadi negosiasi
(membuat perjanjian) antara masyarakat Kecamatan Dewantara dengan Danramil
Kecamatan Dewantara yang diketahui pihak MUI Kecamatan, yang isinya: "TNI
tidak akan datang lagi ke Desa Cot Murong dengan alasan apapun".
Minggu malam, 2 Mei 1999.
Masyarakat desa mengetahui adanya penyusupan anggota TNI antara jam 20.00 WIB sampai dinihari ke Desa Cot Murong dan Desa Lancang Barat. Bahkan penduduk pun mengetahui adanya sebuah boat yang diperkirakan milik militer berupaya untuk melakukan pendaratan di pantai Desa Cot Murong, namun batal karena terlanjur diketahui oleh warga setempat. Sampai waktu itu tidak terjadi apa-apa, namun kecemasan penduduk semakin memuncak, dan sejak saat itu mereka semua mulai berkumpul sampai Senin pagi.
Masyarakat desa mengetahui adanya penyusupan anggota TNI antara jam 20.00 WIB sampai dinihari ke Desa Cot Murong dan Desa Lancang Barat. Bahkan penduduk pun mengetahui adanya sebuah boat yang diperkirakan milik militer berupaya untuk melakukan pendaratan di pantai Desa Cot Murong, namun batal karena terlanjur diketahui oleh warga setempat. Sampai waktu itu tidak terjadi apa-apa, namun kecemasan penduduk semakin memuncak, dan sejak saat itu mereka semua mulai berkumpul sampai Senin pagi.
Senin pagi, 3 mei 1999.
Tepat pada pukul 09.00 WIB, 4 truk pasukan TNI datang lagi memasuki Desa Lancang Barat, desa tentangga Cot Murong. Massa rakyat yang berkumpul merasa cemas dan mulai mempersenjatai diri dengan kayu dan parang (tanpa senjata api).
Lalu datang Camat Dewantara, Drs. Marzuki Amin ke Simpang KKA dan mulai melakukan negosiasi dengan aparat TNI. Aparat berkeras dan negosiasi mentok. Camat tetap berpegang kepada perjanjian terdahulu yang telah disepakati oleh masyarakat dengan Koramil Dewantara yang intinya pihak TNI tidak lagi melakukan kegiatan operasi di daerah mereka. Negosiasi itu beralangsung cukup lama. Waktu sudaah menunjukkan hampir jam 12.00 WIB.
Tepat pada pukul 09.00 WIB, 4 truk pasukan TNI datang lagi memasuki Desa Lancang Barat, desa tentangga Cot Murong. Massa rakyat yang berkumpul merasa cemas dan mulai mempersenjatai diri dengan kayu dan parang (tanpa senjata api).
Lalu datang Camat Dewantara, Drs. Marzuki Amin ke Simpang KKA dan mulai melakukan negosiasi dengan aparat TNI. Aparat berkeras dan negosiasi mentok. Camat tetap berpegang kepada perjanjian terdahulu yang telah disepakati oleh masyarakat dengan Koramil Dewantara yang intinya pihak TNI tidak lagi melakukan kegiatan operasi di daerah mereka. Negosiasi itu beralangsung cukup lama. Waktu sudaah menunjukkan hampir jam 12.00 WIB.
Untuk menunjukkan kesungguhan hati dan
permohonan yang sangat besar agar pasukan segera ditarik dan pihak TNI
menghormati perjanjian yang telah dibuat, Camat Marzuki Amin sempat mencopot
tanda jabatan dari dadanya. Tetapi malah sang Camat kemudian dipukuli oleh
tentara.
Pada saat itu tiba-tiba satu truk milik
TNI bergerak dan sambil berlalu, dari atas truk para tentara melempari batu ke
arah masyarakat, dan masyarakat yang terpancing balas melempari batu ke atas
truk. Pada saat yang hampir bersamaan juga seorang anggota tentara berlari
kearah semak-semak dan masyarakat yang terpancing mengejarnya. Tiba-tiba dari
arah semak itu terdengar satu letusan senjata. Letusan senjata itulah yang
seperti sebuah "komando" disusul oleh rentetan serangan. Pembantaian
segera dimulai. Tepat jam 12.30 WIB.
Saat Kejadian.
Pukul 12.30 WIB, Suara gemuruh dan
teriakan manusia memenuhi Simpang KKA. Ribuan orang berlarian menghindari
serangan dari TNI. Dua wartawan RCTI (Umar HN dan Said Kaban) yang kebetulan
sudah berada di tempat itu sempat merekam moment-moment penting yang terjadi
baik dengan foto atau video. Dapat dikatakan, hasil rekamannya itu menjadi
salah-satu bukti yang paling akurat dan tidak mungkin dapat dipungkiri tentang
bagaimana peristiwa yang sebenarnya.
Tembakan yang dilakukan tanpa peringatan
terlebih dahulu dan dengan posisi siap tempur. Tentara yang dibagian depan
jongkok dan yang berada pada barisan belakang berdiri. Selain itu, tentara yang
berada di atas truk juga terus melakukan tembakan sambil melakukan
gerakan-gerakan tempur. Saat itu penduduk yang tidak lagi sempat lari melakukan
tiarap tapi terus diberondong.
Selain melakukan tembakan kearah masa, TNI
juga mengarahkan tembakan ke rumah-rumah penduduk, sehingga banyak warga yang
sedang di dalam rumah juga menjadi korban. Bahkan mereka mengejar dan memasuki
rumah-rumah penduduk dan melakukan pembantaian di sana.
Ketika melakukan tembakan para anggota
tentara itu juga berteriak-teriak. Kalimat yang paling sering diucapkan adalah
"Akan kubunuh semua orang Aceh". Dalam aksi pembantaian
tersebut, 45 jiwa Tewas di tempat, 156 lainnya Luka-luka kebanyakan karena luka
tembak, dan 10 diantaranya Hilang sampai saat ini tidak tahu
keberadaannya. Banyak penduduk yang sudah tertembak dan tidak bisa lari
lagi masih terus diberondong oleh tentara dari belakang. Mereka benar-benar
melakukan pembantaian seperti sebuah pesta.
Sumber: Koalisi NGO HAM Aceh
0 komentar: